March 8, 2009

I love him

Friday, 06 March, 2009

Ok. Ini tulisan; fiction. Cerpen? Bukan, terlalu panjang dibilang cerpen. Gw tulis di kereta Cirebon-Gambir, setelah pagi2nya gw liat berita di SCTV(mungkin 4 taun lalu beritanya bakal kerasa lebih shocking dibanding skarang/orang udah terbiasa), terinspirasi ama counselling session-ku, psikolog atau psikiater? dua2-nya pernah gw coba.

First week of July 2008
"Mata kamu masih merah, kamu terlihat lelah. Masih belum bisa tidur?", tanya Lestari
"Masih", jawabku
"Apakah obat yang aku berikan membantu?", tanya Lestari
"Tidak", jawabku
"Ini udah ke-2 kali, apakah kamu masih tidak ingin bicara soal keluarga mu?", tanya Lestari
"Tidak", jawabku
"Baiklah, bagaimana kalo kita bicara soal kamu lagi", kata Lestari
"Aku siap", jawabku
"Apakah kamu bahagia?", tanya Lestari.
"Aku bahagia, aku bersyukur, lihatlah aku sekarang, hampir semua yang aku cita-citakan tercapai, seharusnya aku bahagia, tapi kamu tahu sendiri aku tidak mungkin datang kesini kalo aku tidak punya masalah, yang berarti aku sekarang tidak bahagia, entahlah aku selalu pikir aku bisa menyelesaikan masalah ini sendiri, seperti layaknya biasa aku lakukan dari kecil, aku kali ini juga datang ke kamu tidak untuk mencari solusi, karena kupikir hanya Tuhan dan usaha kita sendiri yang bisa memberikan solusi, aku pekerja keras, aku berorientasi ke depan, aku pandai membuat rencana dan mengikuti rencana secara matang, aku selalu bisa mencapai target, makanya aku sebenarnya harusnya bahagia, tapi entah kenapa kali ini aku sedikit di belakang target, mungkin karena itulah aku datang ke kamu?", kataku.
"Kamu bilang kamu introvert, tapi kamu seperti tidak kesusahan untuk terbuka sama aku", tanya Lestari.
"Iya, menurutku personality itu universal, ketika kita sudah memahami diri kita sendiri, kita bisa menyesuaikan karakter diri kita sesuai dengan yang lingkungan butuhkan, entahlah, itu juga salah satu kelebihan aku, aku selalu mampu menempatkan diri dengan baik, menjadi pendengar yang baik, tapi sekaligus juga pembicara yang tidak jelek, mampu menjadi teman yang menyenangkan, aku selalu bisa flexible dengan lingkungan dimana aku berada, apakah itu yang disebut kematangan emosional?", tanyaku.
"Betul, itu salah satu bentuk kematangan emosional, seseorang yang sudah tau tentang diri nya sendiri dengan baik dan mampu mencitrakan dirinya ke luar dalam image yang baik pula berarti punya self awareness yang matang, apakah kamu merasa terpaksa ketika menjadi pribadi yang menyenangkan buat teman-teman kamu, apakah kamu merasa itu sebuah keharusan?", tanya Lestari.
"Kadang-kadang aku merasa terpaksa, tapi aku tidak pernah menunjukkan itu", jawabku. "Seberapa sering kamu merasa terpaksa?", tanya Lestari.
"Sering", jawabku.
"Bagaimana dengan lingkungan keluargamu, apakah kamu juga merasa terpaksa di tengah-tengah keluarga?", tanya Lestari.
"Mmm...mungkin...tapi aku sudah terbiasa", jawabku.
"Kapan sebenarnya kamu merasa terpaksa, maksudnya ketika kondisi kamu seperti apa sebenarnya kamu merasa terpaksa?", tanya Lestari.
"Ketika aku sedang sedih, aku selalu menyembunyikan itu", jawabku.
"Apa yang membuat kamu sedih?", tanya Lestari.
"Kenapa kamu bertanya demikian?", tanyaku balik bertanya.
"Ini akan membantu aku untuk lebih memahami kamu", jawab Lestari.
"Apakah kamu enggan menceritakan kenapa kamu sedih?", tanya Lestari.
"Mungkin belum saatnya", jawabku.
"Aku tidak akan memaksa, tapi bolehkan aku tau, apakah kamu pernah bercerita seperti ini sama seseorang tentang kesedihan kamu?", tanya Lestari.
"Ya, ada beberapa teman dekatku, tapi aku tidak mau merepotkan mereka, semua orang pasti sibuk, aku tidak mau merepotkan siapa pun", jawabku.
"Sejak kapan sebenarnya kamu memaksakan diri kamu dan selalu menyembunyikan perasaan sedih kamu?", tanya Lestari.
"Sejak aku ingat", jawabku.
"Apakah itu maksudnya sejak kecil?", tanya Lestari.
"Betul", jawabku.
"Berarti, kesedihan kamu yang tidak mau kamu ceritakan itu sudah kamu rasakan sejak kecil?", tanya Lestari.
"Iya", jawabku.
"Apakah kamu sekarang sedih dan ingin menangis?", tanya Lestari.
"Iya, tapi aku tidak ingin menangis", jawabku.
"Apakah kamu ingin kita membicarakan topik lain saja?", tanya Lestari.
"Tidak, aku merasa kamu masih belum mengerti, aku harus buat kamu mengerti apa permasalahanku", jawabku.
"Tidak ada yang mengharuskan kamu apa pun, saya tidak akan memaksa kamu, kamu hanya bercerita kalo kamu mau, aku tidak akan memaksa kamu, dan kamu tidak dibebankan untuk membuat aku mengerti, karena aku bisa jadi tidak akan pernah mengerti kamu, tahukah kamu bahwa yang paling tahu itu tetap diri kita sendiri, aku hanya tau teori dan belajar dari pengalaman, mungkin aku bisa memberi kamu saran sesuai dengan pengalamanku, tapi itu kembali ke diri kamu, cuma diri kamu yang paling tau", Lestari menjelaskan.
"Diriku, dan Tuhan. Tuhan maha tau setiap bagian diri kita, aku menangis dalam gelap kepada Tuhan, cuma itu yang bisa aku lakukan", jawabku.
"Apakah kamu merasa lebih baik setelah itu?", tanya Lestari.
"Tentu saja, aku merasa sangat lega, seolah bebanku terangkat dan dadaku lapang", jawabku. "Mmm...boleh aku sedikit jelaskan bagaimana opini ku tentang kamu?", tanya Lestari
"Boleh", jawabku.
"Kamu itu pasti pekerja keras, kamu itu pasti pintar, dan kamu juga pasti berprestasi, meski kamu sendiri tidak suka memebesar-besarkan itu semua, karena kamu itu pribadi yang tidak sombong, secara akademik prestasi kamu juga pasti mengagumkan, yang membawa kamu juga jadi professional yang sukses dalam karir kamu, kamu juga seorang yang religius, kamu menjadikan agama sebagai solusi dalam kehidupan kamu, dan kamu juga sangat sabar, dan sekali lagi kamu pekerja keras", Lestari menjelaskan.
"..atas dasar apa kamu menebak aku seperti itu?", tanyaku.
"Aku hanya menebak, seperti yang aku bilang tadi, dari cara mu berbicara, dan jawaban questioner kamu dan juga dari pengalaman. Coba kasih aku 3 contoh, bberapa hal yang menurut kamu itu pencapaian yang membanggakan?", tanya Lestari
"Aku baru ber-Umroh dengan uangku sendiri, Aku menang di urutan pertama jurnal ilmiah engineering tingkat Asia Pasifik, meski aku gagal di tingkat internasional, dan aku menjadi mahasiswa terbaik di fakultas ku, meski aku gagal bersaing di tingkat universitas, menurut ku biasa-biasa saja, tidak ada yang special dari itu semua, kalo kita memang berorientasi dan merencankan itu semua dengan matang, dan bekerja keras, hasilnya pasti akan tercapai dengan sendirinya", jawabku.
"Betul, dan itu memang betul, tapi tahukan kamu kalo itu tidak mudah bagi sebagian orang?", tanya Lestari.
"Apanya yang tidak mudah, kita tahu apa yang kita mau, kita tahu apa yang kita harus lakukan, tinggal kita lakukan", jawabku.
"Betul, sekali lagi betul, itulah makanya aku bilang kamu pintar, dan berprestasi dan tahu apa yang kamu mau", kata Lestari.
"Ah biasa saja...semua orang bisa seperti saya, kalo mereka mau dan bekerja keras, banyak orang pintar di luar sana, seperti kamu Lestari", jawabku.
"Betul, dan sekali lagi perkataan saya tentang kamu tidak sombong juga betul", kata Lestari. "Ah biasa saja....saya hanya beruntung diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menjadi seperti ini, bolehkan aku minta dosis yang lebih tinggi? Aku masih tidak bisa tidur", kataku.

Second week of July 2008
"Aku senang akhirnya kamu siap untuk berbicara lebih banyak tentang keluargamu, tapi aku semakin kuatir dengan fisik kamu, masih belum bisa tidur?"kata Lestari.
"Belum", kataku
"Baiklah, aku akan mulai bertanya tentang keluarga mu, kalo kamu keberatan dan dirasa terlalu jauh, kita bisa berhenti...Apakah kamu dekat dengan keluarga?" tanya Lestari.
"Dekat, tapi ya seperlu nya saja, aku di rumah biasanya lebih cenderung pendiam dibandingkan dengan aku biasanya sehari-hari di lingkungan kerja"' jawabku.
"Ada alasan khusus kenapa kamu lebih pendiam di rumah?", tanya Lestari.
"Nggak ada. Mungkin ini sisi lain yang aku coba tunjukkin, pada dasarnya aku memang introvert. Meskipun di kantor orang mengenal aku sebagai pribadi yang periang, semangat dan kadang penuh ide-ide gila, tapi itu semua hanya sebuah kulit yang aku coba tunjukkin untuk sandiwara", tanyaku setelah selesai menjawab.
"Apakah kamu sekarang juga sedang bersandiwara?", tanya Lestari.
"Mungkin, tapi kupikir tidak...aku percaya sama kamu Lestari", jawabku.
"Boleh aku tanya kembali soal sandiwara kamu di Rumah?", tanya Lestari.
"Tentu saja boleh, kenapa tidak?", jawabku.
"Apakah kamu bersandiwara di rumah karena kamu ingin menyembungikan sesuatu dari mereka?", tanya Lestari.
"Mmm....aku hanya ingin menjadi anak yang baik dan berbakti kepada kedua orang tua, itu setidaknya dogma yang aku terima sejak kecil dari guru ngaji ku. Tapi setelah aku besar pun aku percaya dengan dogma itu bernilai baik, bukan karena itu diungkapkan dalam Al Qur'an, yang notabene sebuah petunjuk dari Tuhan yang aku percayai, tapi karena itu juga benar adanya, itu lah fitrah, aku tidak tahu kamu mengerti fitrah atau tidak, karena kamu bukan muslim, tapi aku tahu bahwa seorang anak baru akan merasa puas kalo orang tua nya juga bahagia?", jawabku.
"Apakah orang tua mu bangga sama kamu?", tanya Lestari.
"Ibuku iya, ayahku tidak..tapi dia memang seperti itu", jawabku.
"Apa maksudmu dengan kata-kata 'sperti itu' tentang ayahmu", tanya Lestari.
"Mm....dia tidak peduli dengan apa yang aku lakukan. Seingatku dia tidak pernah peduli. Mungkin karena aku tidak pernah menjadi orang yang dia harapkan", jawabku.
"Mm....dari mana kamu tau kalo kamu tidak pernah menjadi orang yang dia harapkan?", tanya Lestari.
"Entahlah..itu yang aku rasa, dari kecil aku tidak pernah dekat sama dia", jawabku.
"Kenapa, apakah dia sibuk? sering bepergian di luar kota? atau dia sering berdinas di luar rumah?", tanya Lestari.
"Biasa aja sebenarnya, dia pegawai negeri, dia tidak begitu sering bepergian, dia di dinas pertanian, tapi dia keras, dia tidak pernah bisa basa-basi", jawabku.
"Apakah ayah kamu pemarah?", tanya Lestari.
"Mm...iya", jawabku.
"Apakah dia pernah marah sama kamu?", tanya Lestari.
"Semasa kecil? sering...dia sering bilang saya nakal", jawabku.
"Apakah kamu merasa kalo kamu nakal?", tanya Lestari.
"Entahlah, padahal aku rajin belajar ngaji setiap hari, aku pergi ke sekolah tidak pernah bolos, aku juga tidak pernah berantem sama anak-anak sekolah, dan nilai ku di sekolah juga bagus, aku ingat...dulu, aku minta ayahku uang untuk beli kuas, karena aku suka melukis, ayahku marah-marah, dia menendang meja di depan ku, aku juga pernah minta uang untuk meminjam buku dan dia marah-marah ....dia mengata-ngatai-ku kalo aku sebaiknya bermain seperti seperti layaknya anak-anak lain, bermain bola, bermain layangan, atau apa pun....dia bilang aku tidak seperti anak-anak lain...sekarang aku sadar, kalo memang keluarga kami miskin dan saya tidak pernah mengerti, makanya seperti yang aku sudah pernah bilang aku bekerja keras untul merubah itu semua...agar keluarg kami tidak lagi miskin", jawabku.
"Kenapa kamu tidak suka bermain dengan anak-anak lain?", tanya Lestari.
"Entahlah...aku lebih suka sendiri, dan membaca, aku tidak pandai bermain bola seperti anak-anak lain", jawabku.
"Apakah ayah kamu pernah mengajak kamu main bola? atau bermain bola bersama kamu?", tanya Lestari.
"..tidak pernah..dia selalu bilang aku lemah..", jawabku.
"Aku tidak melihat kamu lemah, kamu terlihat sangat fit", tanya Lestari.
"Sekarang iya...aku berjuang keras untuk olahraga, aku bekerja keras untuk bisa jago olahraga sejak aku SMP", kataku.
"Kenapa? apa motivasi mu?", tanya Lestari.
"...mungkin sebagian besar karena aku masih ingin membuat ayahku bangga..", kataku.
"Apakah kamu berhasil membuat ayahmu bangga?", tanya Lestari
"Oh...maksudmu sekarang? sekarang saya tidak begitu peduli, saya sudah menyerah..", jawabku.
"Apakah kamu membenci ayah kamu?", tanya Lestari.
"Sebagai seorang anak, aku harus berbakti, aku tidak boleh membenci ayahku, aku harus mencintai dia", jawabku.
"Apakah kamu mencintai dia?", tanya Lestari.
"Entahlah, sebenarnya mencintai dia ...tapi juga membenci dia, tapi aku merasa bersalah, aku menangis kepada Tuhan...entah kenapa aku tidak pernah bisa menjadi anak yang dia harapkan", jawabku.
"Mmm...menarik", kata Lestari.
"Apa yang menarik?", giliran aku bertanya.
"Apakah kamu orang yang sangat sensitif?", tanya Lestari.
"Betul, aku bahkan juga kadang intuitif, jadi sangat peka dengan perasaan orang di sekitarku", jawabku.
"Apakah ketika kamu berada dekat ayahmu, kamu bisa merasakan bahwa dia membenci kamu, makanya kamu lebih cenderung pendiam dan bersandiwara di depan keluarga mu?", tanya Lestari.
"Mungkin... seperti itu ringkasnya, karena ayahku sangat dominan di keluarga", jawabku.
"Mmm...menarik", kata Lestari.
"Apa nya yang menarik? kamu tadi tidak menjawab pertanyaanku", aku mendesak.
"Aku sedang berusaha menebak, tapi opini ku masih terlalu dini, tentu aku akan kasih tau nanti kalo aku merasa sudah lebih yakin, sekarang aku ingin melanjutkan bertanya", tanya Lestari.
"Baiklah", jawabku.
"Kamu bilang kamu punya saudara perempuan, betul?" tanya Lestari.
"Betul", jawabku.
"Apakah kamu dekat dengan dia?", tanya Lestari.
"Biasa saja, dia dekat sekali dengan ibu, mungkin karena sesama perempuan", jawabku.
"Kamu bagaimana, dekat dengan ibu?", tanya Lestari.
"Biasa saja", jawabku.
"Baiklah, dugaan saya sekarang semakin kuat, saya akan sampaikan pendapat saya tentang apa yang terjadi sama kamu", kata Lestari.
"Aku akan coba dengarkan", jawabku.
"Ayah kamu. Itu adalah sumber kenapa kamu bisa seperti sekarang ini. Kamu tidak punya figur ayah yang kamu harapkan. Kamu punya background agama yang kuat yang kamu jadikan pondasi dalam hidup, itu bagus. Tapi walau bagaimana pun, perkembangan emosi seorang anak tergantung pada kondisi keluarganya. Kamu berusaha mencari figur ayah jelas bukan dari ayahmu, bahkan di kasus kamu ekstrim, ayah kamu tidak peduli dengan kamu, dia bahkan seolah-olah benci sama kamu, atau setidaknya itu yang kamu rasakan, ayah kamu benci sama kamu, oleh karena itu juga kamu berjuang keras, untuk bisa membuat dia bangga, kamu berusaha menjadi pribadi yang ayah kamu harapkan...pribadi yang semua orang harapkan yang membuat kamu mencapai prestasi yang luar biasa...tapi ayahmu masih tidak peduli..akhirnya kamu bingung, kamu menjadi tidak fokus dan tidak yakin dengan siapa diri kamu .. Dia tidak pernah mengajak kamu bermain, dia menghardik kamu dengan kata-kata yang sangat tidak positif, dan menjadi dogma yang sangat negatif yang kamu tangkap. Tapi beruntung kamu punya pondasi agama yang kuta, kamu membalikkan energi negatif itu menjadi pembuktian diri, menjadi motivasi untuk berkarya, belajar, berprestasi...tapi masih tetap tidak juga merubah opini ayah kamu.. Akibat dari itu semua, kamu menjadi kehilangan jati diri kamu, kamu kerap bersandiwara, dan kamu kehilangan orientasi pribadi kamu yang sebenarnya. ....Kamu sholat tahajjud.... itu membuat kamu ringan, dan merasa lapang, karena kamu tidak merasa bersalah, tapi itu tidak menjadikan solusi apa pun. Karena ayah kamu sampai detik ini pun masih bersikap sama...asal kamu ketahui, orang tua mana pun di dunia harusnya merasa senang, dan bangga. Tapi ayah kamu sangat egois, bahkan sampai saat ini. Berbeda dengan kakak kamu, dia dekat dengan ibu kamu, makanya dia mungkin bisa berbagi perasaan dengan ibu, dan saya yakin ibu kamu juga mendapatkan tekanan bathin yang sama dengan kamu. Tapi kebetulan kakak dan ibu kamu dekat satu sama lain, mereka setidaknya saling menjadi motivator satu sama lain. Tapi tidak dengan kamu. Kamu menjadi kehilangan jati diri, kamu bingung dengan diri kamu sendiri. Itu juga yang membawa kamu sering mimpi buruk", Lestari menjelaskan.
"Benarkah seperti itu?", kataku.
"Bagaimana menurutmu?", Lestari malah balik bertanya.
"Mungkin", aku hanya bisa merenung. Bingung. Apakah aku harus sedih.
"Bagian mana yang kamu rasa tidak setuju", tanya Lestari.
"Entahlah, jauh di lubuk hatiku, aku menyetujui hampir semua kata-katamu, tapi dia itu ayahku, aku harus mencitai dia", kataku
"Betul, dan dia juga harus mencitai kamu", jawab Lestari.
"Tidak mungkin", jawabku.
"Kenapa tidak mungkin, memang berat, semuanya harus dicoba perlahan-lahan, ayah kamu harus diberi tahu, kalo tidak ini akan terus berakibat buruk sama kamu", kata Lestari.
"Tidak mungkin, ibuku sudah mencoba nya, tapi tidak berhasil. Ayahku adalah anak tunggal dari keluarga terhormat di kampungku, dia adalah orang dengan berpendidikan tertinggi di kampungku, dengan gelar Master, sementara ibuku hanyalah tamatan SMK atau mungkin sekarang disebut SMP, apalah daya ibuku, ayah tidak pernah mau mendengar siapa pun... Hmm....sangat ironi, di luar itu semua, semua orang di kampung ku memandang ayahku semakin terhormat dengan apa yang aku raih sekarang. Dengan prestasi ku sekarang", jawabku.
"Saya akan kasih tau kamu bagaimana caranya, mungkin ibu kamu tidak tahu bagaimana cara menghadapi ayah kamu, kamu harus ceritakan lebih banyak tentang ayah kamu, nanti saya akan kasih tau kamu bagaimana caranya menghadapi ayah kamu, dan merubah ini semua, saya melihat kamu sebagai korban, kamu semakin kehilangan orientasi, jiwa kamu semakin tertimbun, kamu sendiri yang bilang kamu menjadi tidak bisa tidur, kamu semakin tergantung dengan obat tidur, ini bisa dirubah", kata Lestari.
"Tidak mungkin...tidak bisa dirubah", kataku setengah membentak.
"Bisa, kamu sendiri yang bilang Tuhan itu maha segala nya. Kamu masih percaya Tuhan kan? aku tau kamu banyak menangis dan mengadu kepada Tuhan, dan inilah mungkin saatnya untuk berubah, saya memberikan kamu jalan, saya akan kasih tau kamu bagaimana menghadapi ayah kamu", kata Lestari.
"Berarti kamu yakin, bahwa keegeoisan ayahku, keangkuhan ayahku, yang membuat aku menjadi seperti ini", kataku.
"Ya...secara mental, kamu depresi, kamu tertekan, dan saya yakin kamu ingin merubah ini semua, dan kamu tidak bisa tidur...fisik kamu juga sekarang menjadi korban, keadaaan kau menjadi semakin buruk, saya tidak mau kamu menjadi ketergantungan dengan obat tidur yang saya kasih...dan saya tidak mau menaikkan lagi dosis nya meski saya liat kamu semakin parah.... apakah ada kejadian buruk akhir-akhir ini yang membuat kamu semakin depresi?", tanya Lestari.
"Ya...dia sering memukul ibuku....dia memukul keponakan-keponakan ku...", entah kenapa aku tiba-tiba ingin menangis, ya Tuhan...berat sekali cobaan ini.
Muka Lestari tiba-tiba memerah. "Kenapa?", tanya dia.
"Dia menginginkan uang tabunganku yang dipegang ibuku, dia menginginkan itu untuk naik haji...dia sangat terobsesi...seolah ingin dipuji oleh seluruh dunia, oleh semua orang di kampungku, aku tidak mengerti kenapa dia sebegitunya terobsesi, aku yakin dia tidak akan bertemu Tuhan dalam Haji nya", kataku...aku tak berdaya lagi menahan air mata, menyesali ini semua.
"Dengar, ini sudah melampaui batas, kamu harus melaporkan ini ke pihak yang berwajib", kata Lestari.
"Kamu lupa, polisi menghormati dia...", kataku sambil tak bisa menahan air mata yang kini entah kenapa terasa tak bisa lagi kukontrol segimana pun aku tidak ingin menangis.
"Kamu tinggal mengumpulkan bukti, kita adukan ke pengadilan, saya akan bantu kamu, saya kenal pengacara yang bisa bantu kumpulkan bukti, dan saya percaya dia", kata Lestari.


"Tidak usah...", kataku. Aku merasakan air mataku jatuh, tapi entah kenapa aku merasa bebas, aku ingin tersenyum, aku ingin tertawa tapi aku juga takut...entah kenapa, semua itu terasa dalam waktu bersamaan.
"Apanya yang tidak usah?", kata Lestari. Aku melihat sedikit roman bingung di ekspresi wajahnya. Wajahnya yang selalu dia buat seolah datar tak berekspresi demi kenyamanan semua pasien pasien dia.
"Kamu sudah menyelesaikan semuanya", kataku. Aku tidak lagi merasa sedih. Aku merasa bebas. Ya...aku tidak lagi bingung..Aku merasa sangat bebas. Aku tersenyum dalam sisa isakan-ku. Senyum kemenangan. Lestari tiba-tiba memandangku dalam-dalam. Dia tidak berbicara. Dia memandangku dan dia terdiam.
"Aku sudah menyelesaikan apa?", tanya Lestari.
"Kamu sudah menyelesaikan apa yang baru kamu pahami hari ini", jawabku.
"Ayahmu?", tanya Lestari.
"Ya, ibuku tidak perlu takut sekarang, berkat kamu", kataku.
"Maksudmu?", tanya Lestari, ada roman penyesalan dan ke-ingin tahuan yang besar, dan juga ketakutan.
"Obat tidur yang kamu berikan, aku kumpulkan, dan aku berikan kepada ayahku", kataku dengan penuh kemenangan.
Lestari diam.
"Semuanya?", tanya lestari dalam ketakutan.
Aku menangguk, "sekaligus".
Lestari berusaha menarik napas dalam-dalam...dia menulis dalam sebuah kertas kosong dengan tulisan kapital "KAMU BISA MEMBUNUHNYA"
"Kamu membantuku" kataku.
Lestari kembali terdiam.


13 comments:

Life in Adorable (L.I.A) Fab Story said...

Jujur ya nih bo.....
Keren banget lho tulisannya...
Kalo aja lo fokus nulis nih..bisa dibuat buku nih....
Gw orang pertama yang bakal baca...

Ka-el said...

@ LIA. Thanks ya :) you're so supportive...thanks God for giving me you...a friend who always say good things no matter what..thanks..

Anonymous said...

panjang Lin, besok aja ya bacanya..

-mg-

Anonymous said...

gubraak..!!
endingnya sangat tak terduga ka el..
hehehe

yuuup..setuju ma kak lia..
jadiin buku novel ajaa ka el..
baguuus.. heuheuhueheu..

- nananu temennya balchu, hehe -

Ka-el said...

@nana. Thankss..hehe bisa aja..mood nya lg pas sama idenya lg dapet. Novel? hehe..will see..

Anonymous said...

Elin,
it's very good.

Anonymous said...

Elin,
it's very good.
keep writing bro!

Ka-el said...

@Ka Intan. Thanks..glad you read it :) I will...

rhie said...

wah...ternyata bisa nulis...bagus bgt ceritanya...mengalir&klimaksnya itu lhoo...gak nyangka...

Ka-el said...

Huehehe..thanks2...lagi kesurupan ama sastrawan kyk gitu tuh..seringnya kesurupan mak lampir tapi xixi..

fini said...

elin..keren abis nih crita..jadi inget crita psikologis tntng gadis yg d pemakaman ibunya ktmu cowo ganteng..trus dia stlah itu ngebunuh saudara perempuannya..hehehee..keren2...

Ka-el said...

@ Fini..
kesimpulannya apa..kamu lebih psiko kyaknya..hehe..

Ira said...

baguuuss.. ditunggu fiksi berikutnya :)