September 19, 2007

Bulan ini TUHAN masuk TV

Bulan ini TUHAN masuk TV - Ramadhan 2007 hari ke-8.

Pernyataan temen gw yang setengah berbisik tentang "bulan ini Tuhan masuk TV" adalah benar. Bukan kausalitas sufisme tentang ke-mahluk-an TV (yang pada hakikatnya memang diciptakan Tuhan) yang coba dijadikan point disini, itu mah..jauh dari level gw menulis, tapi lebih ke ke-ironi-an atas realitasnya.

Bulan ini "Tuhan" menjadi komoditi utama di hampir semua channel TV. Setidaknya untuk negeri ini. Maklum, bangsa ini masih bangsa yang 'angin-angin'an. Ramadhan menjadi moment "nyadar"nya umat islam untuk sedikit menunjukan atribut ke-islam-an nya. Semua channel TV berlomba-lomba menjual berbagai produk ke-Tuhan-an dalam berbagai paket dan bingkisan. Lucu nya 'saking' ngebet nya menjadi penjual unggul produk ke-Tuhan-an, persaingan berada di level 'mengemas' tanpa memperhatikan isi. "Bungkus kado" dari acara diutamakan dan di beri pernak pernik yang kadang "sangat berlebihan", tanpa memperhaitikan isi kado yang dijual. Dimana letak sumber ke-aneh-an ini. Artis-artis nya menjadi sangat brutal dalam menjual nilai diri nya? Pembuat skenario? Pemilik stasiun TV? Pemerintah? situasi masyarakat yang menuntut (kondisi pasar=kita)? Ulama? Bagaikan polemik ayam dan telor.

Tapi tenang saja, masyarakat juga tak sepenuh nya homogen. Mereka yang khusuk dan sangat khusuk mengisi Ramadhan dengan atribut 'seharusnya' bahkan tidak menyadari fenomena ini, entah karena tidak pernah menonton TV, tidak peduli atau terlalu sibuk dengan 'exciting'nya mengejar setoran dan menumpuk stok 'pahala' dan me-release dosa.

Mereka yang sadar akan ke-aneh-an ini juga banyak. Komunitas islam priyayi keliatannya yang ada di tataran ini. Eksekutif, pekerja yang masih sempet mengaji dan lain-lain, tapi daripada capek-capek mendingan 'pilih-pilih' channel saja.

Oh ya, masih ada beberapa channel yang menyuguhkan paket 'lumayan' baik kertas pembukus maupun isi kadonya.

Lantas ada komunitas yang menjadi korban. Siapa? Mereka ada dan tak perlu dipertanyakan siapa dan dimana. Tapi kalau dari segi jumlah, justru di sinilah mayoritas itu ada. Ingat loh..ada anak-anak kecil, ada orang-orang yang pendidikannya tak begitu tinggi.

Jika saja mereka yang sangat khusuk terlalu khusuk, yang sadar dan pintar memilih untuk sadar dan pintar sendiri, maka mental dan pola pikir 'picisan' akan semakin mewarnai keterpurukan sejarah dan kedudukan 'islam' di negeri ini. Semangat 'angin-angin'an akan tetap eksis dan kembali "Tuhan" akan menjadi komoditi masuk TV tahun depan. Anyway, ini hanya sebuah tulisan. Mari kita biarkan ini menguap begitu saja seiring berlalu nya 'angin' komoditi ini.

[tanpa menyinggung mereka yang berseberangan........peace..ini hanya sebuah tulisan. Terinspirasi ketika mau beli cendol buat berbuka kemaren -- fahdi; lu emang panutan].

July 10, 2007

SMS -Anjing dan Kail

SMS-Anjing dan Kail

Beberapa halaman lagi kupikir, baru berhenti. Ternyata memilih terbang dengan last flight ke balikpapan bukan pilihan ideal. Mumetnya kerjaan dan macetnya jakarta jadi bonus sendiri menambah panjang rangkaian hari ini. Dan lagi-lagi...hotel yang sama. Tapi rasa-rasanya sudah bukan hotel lagi, saking terlalu sering nya mondar-mandir jakarta balikpapan dan selalu tinggal di hotel yang sama [Maklum, corporate agreement hotel], bahkan para pekerja di hotel sangat kenal namaku. Pemandangan yang sama, pantai yang kotor dan hitam di siang hari, atau lampu kapal-kapal kargo, mercusuar dan hazard light dari rig-rig pemboran minyak di malam hari. Romantisme picisan!!

SMS Chat Log :
”Lu dimana? Gw lagi ada program penyiangan hutan di Tanjung Puting nih, sialan gw ngorek-ngorek tai lu” –In ( Pelatih Anjing)
”Gw di Balikpapan, baru cek-in nih di hotel. Enak aja, itu tai-nya banyak orang” –Sent
“Haha….Pake ganti air mani gak cek-in nya?” –In (Pelatih Anjing).
“Dasar Sandal jepit luh!! …kagak lah” –Sent
“jangan terlalu tinggi lu terbang, angin lagi musim ribut sekarang, ntar lu masuk angin” –In (Pelatih Anjing)
“Gw harus terbang tinggi, bau taik terlalu menyengat, gak bisa bernapas” –Sent
”Gw butuh kail!!” –In (Pelatih Anjing)
“Gw kirim ntar, salam buat istri dan anak lu, kalo lu gak jadi mati dan sempet ketemu mereka lagi” –Sent.
“Seluruh monyet berterima kasih sama lu, Batere gw lowbat, gak ada listrik di sini,” –In (Pelatih Anjing).

Gw masih menyimpan nomer dia di handphone dengan nama “pelatih anjing”. Setidaknya begitulah dia ingin diingat. Takdir mempertemukan kita tahun 2003 di acara nanjak ke Gede-Pangrango. Nanjak yang seharusnya jadi pengrelease stress berubah jadi ajang cuci otak dari dia. Dia dulu tergabung di Bioscience Technology Unit, LSM lingkungan di Bandung, dibawa dengan dalih keselamatan atas ke-amatiran kita [lima orang kutu buku yang sok-sokan ingin ekspedisi nanjak gunung].

Bagi dia kami semua kala itu adalah calon-calon anjing, dengan argumen bahwa statistik yang ada menunjukkan sebagian besar lulusan Institut kami yang duduk di pemerintahan sekarang adalah anjing-anjing rakus, dan cepat lambat pasca kami lulus nanti, kami pun akan menjadi seperti mereka, anjing-anjing rakus. Dia tak pernah mempermasalahkan seberapa buncit perut kami nantinya, atau seberapa kotornya ingus dan liur kami, dia hanya meminta kalaupun nanti kami menjadi anjing, ingatlah pada kodrat bahwa anjing adalah carnivora. Tak pernah anjing memakan tanaman, memakan daun-daunan. Maka biarkanlah setidaknya hutan-hutan tetap hijau.

Meski hanya satu minggu, gw mengakui kedahsyatan dia, mematahkan argumen-argumen rasional kapitalis kami. Dia lulus dari institut yang sama dengan kami, dengan predikat cum laude [yang menurut kami tak gampang] tapi alih-alih bekerja di perusahaan bonafid dan menjadi anjing kapitalis [sepertiku sekarang] dia memilih untuk menjadi direktur bagi hidupnya, bebas dalam keliarannya, dalam LSMnya. Dia itu layaknya penjaja makanan keliling, berteriak-teriak setiap harinya menjual sebuah garis luhur yang kadang terlupakan, garis ketergantungan manusia akan alam. Berjalan tak henti-henti nya dari hari ke hari ke pelosok-pelosok kampung hanya demi mencari pelanggan-pelanggan kecilnya, anak-anak calon-calon anjing bangsa, agar hakikat ke-anjingan-nya tetap ada, tak melupakan kenikmatan bermain dalam telanjang kaki, di atas tanah-tanah berpasir hangat atau tanah-tanah merah pematang sawah atau lembabnya humus pegunungan. Bahwa anjing adalah carnivora, tidak perlu memakan hutan.

Kalo dia bilang habis batere berarti minimal sudah satu minggu dia di Tanjung Puting, di tengah-tengah hutan menanami lahan-lahan gundul, menyiangi hutan gersang yang terbakar penebang liar, atau semak-semak yang tercemar limbah pabrik-pabrik liar, tanpa listrik, tanpa alas tidur. Sementara gw dengan nyamannya tinggal di Hotel ini. Sangat kontras!!

Terasa sangat kerdil mengaca pada diri sendiri, membayangkan apa yang di lakukan dia dan apa yang gw lakukan sekarang. Sekian banyak do’a-do’a kulantunkan, sekian banyak ayat-ayat Al Qur’an kubaca dan kuhapal, tapi apa lantas ini menjadikan gw manusia terbaik? Dia disana berjuang tak henti-henti nya, dalam keterbatasan dan kesederhanaan untuk lestari nya bumi ini. Disini, gw memuji-muji keagungan Tuhan, ber-ruku dan bersujud dan memuji sampai berbusa-busa. Dan nyata-nyatanya gw benar-benar telah berhasil menjadi anjing. Setidaknya anjing yang menemukan jati diri ke-anjing-annya. Sebelum terjebak lebih jauh dalam ilusi, gw teringat janji sama dia. Sebuah kail........

[Dari satu hari saja, untuk teknologi (laptop, wi-fi and 3G, internet banking) gw berterima kasih.....kiriman kail jadi mudah!!!]



June 27, 2007

Kudapatkan jawaban dari pertanyaan


“Tak mau menjawab, atau tak mampu menjawab? Atau mungkin tak ada keinginan sama sekali untuk menjawab. Atau mungkin, dia tak ada keinginan sama sekali untuk bicara…atau jangan-jangan dia tidak punya keinginan! Hmm…nampak berlebihan kayaknya kalo sampai berpikiran demikian”.

Sudah sedari tadi dia pergi, dan aku ditinggalkan sendirian dalam kepenasaran. Padahal tak ada yang ganjil dari hari ini. Dia seperti biasanya ceria, kami seperti biasanya mengisi hari ini...........jalan, belanja kiri kanan, mengomentari satu dua hal tak penting, mengutuk-ngutuk kemacetan, sampai membual soal idealisme dan kapitalisme pun dibawa-bawa. Hanya satu pertanyaan simple yang kulontarkan, kemudian dia terdiam, dan aku bingung sampai sekarang.

“Kenapa sampai sebegitu malas nya dia menjawab pertanyaanku tadi? Buntu?...mmm...seharusnya tidak…karena tadi itu bukan sebuah pertanyaan susah. Sangat sederhana, dan lugas”

“Kenapa dia tak mau menjawab pertanyaanku tadi? Terus terang ini semakin menggangguku...Dia hanya terdiam tadi..... dia menatapku....ya...sejenak setelah dia agak lama menunduk....tunggu..dia sepertinya kaget aku menanyakan itu padanya, benar....dia sempat kaget...pada awalnya dia kaget...dia kemudian menunduk, ada yang dipikirnya ....kemudian dia menatapku, tapi tak sepatah kata pun keluar, padahal besar harapanku, saat itu juga aku mendapatkan jawabannya”.

“Apa mungkin dia marah? Apa mungkin dia marah aku bertanya demikian....
Ini bukan kali pertama aku bertanya, ini kesekian kali aku bercerita,....apa jangan-jangan dia bosan karena aku terlalu sering bercerita, terlalu sering mengadu, terlalu sering minta pendapat dia”.

“Tidak...tidak mungkin. Dia sendiri pernah bilang, kalo dia senang ...ya dia senang kalo aku sering bercerita dan berkeluh kesah...Bahkan ketika kita tidak sepaham dan kita bertengkar, dia sendiri malah bilang kalo dia senang...semakin tau sifat asliku dan kejelekanku, dia memaafkanku saat itu...dia bilang ‘terlalu rugi kalo dia terus-terusan berantem, banyak waktu terbuang percuma, hanya saling memahami yang dibutuhkan’.......yah dia memaafkanku”.

“Apa aku menyinggung perasaan dia dengan menanyakan hal tadi? Mungkinkah? Mm...sudah terlalu lama aku kenal dia, tak pernah dia marah atau tersinggung hanya karena sebuah pertanyaan sederhana...yang ada malah sebaliknya, akulah yang selalu marah-marah ke dia karena hal-hal sepele”.

“Lantas kenapa dia tiba-tiba terdiam ketika aku bertanya tadi...."

“Apa mungkin dia menganggap pertanyaanku itu aneh. Mmm...kenapa pula dia menganggap pertanyaanku aneh, dia sudah mengenalku sekian lama. Tak banyak sifat anehku yang tersembunyikan lagi darinya.....dan aku pun tak melihat tatapan yang mengganggap pertanyaanku aneh, tidak! Aku tidak melihat itu di matanya....aku hanya melihat............”.

“Tunggu.........”
“Kenapa aku melihat sedikit kesedihan di tatapannya tadi, bagaimana mungkin dia sedih...
tidak mungkin dia sedih.......dia tau ini akan jadi kebahagiannku, Bagaimana mungkin dia sedih untuk sebuah kebahagiaan aku.........seorang aku yang sudah lama dikenalnya. Dia tau kalo aku sudah lama menunggu-nunggu ini."
"Apa karena aku tidak pernah menceritakan ini padanya sebelumnya? tidak mungkin, dia tidak harus bersedih untuk itu, dia seharusnya sudah tau itu, dia sudah mengenalku sejak lama..... dia harusnya sudah mengira kalo aku akan meminta pendapat dia tentang hal ini dan dia mestinya tau kalo aku benar-benar akan bahagia....lantas....ada apa dengan tatapan matanya tadi....kenapa dia bersedih?"

"Kenapa dia tak ikut berbahagia dengan-ku, kenapa lantas dia malah pergi begitu saja".

"Kenapa .....kau tak menjawab pertanyaanku..........

=========================================================

..........Dear My Journal,
Tak biasanya, dia menutup hari ini dengan terdiam. Dia membuatku bertanya-tanya. Dia meninggalkanku tanpa jawaban. Aku melihat kesedihan di tatapan matanya. Tapi aku tak mengerti arti kesedihan itu dan aku tak cukup berani untuk bertanya kenapa dia bersedih. Karena dia bahkan tak menjawab pertanyaanku.

..........Dear My Journal,
Aku bersedih. Karena aku tidak pernah bertanya. Aku tidak pernah berani bertanya. Aku selalu memendam perasaan ini. Aku takut kehilangannya. Aku takut kehilangan dia seandainya kusampaikan pertanyaan ini. Pertanyaan yang setiap malam mengiringi do’a-ku, pertanyaan yang tiap pagi membuatku gundah ketika akan bertemu dengannya, pertanyaan yang tiap petang membuatku bingung akan berpisah dari-nya.

Teman....Hari ini. Hari ini..tanpa kubertanya, kudapatkan jawaban........ dari pertanyaanmu. Semoga kamu bahagia. Maaf aku tidak sempat menjawab. Maaf aku terlihat sedih...Karena aku menyadari, akhirnya aku kehilanganmu.

Aku menutup hari ini dengan terdiam. Aku meninggalkanmu tanpa jawaban.


[Dari satu hari saja, untuk mereka yang selalu berpikir dengan ke-aku-annya, pandanglah dia dari sisi-nya sesekali, karena mungkin kau akan kehilangan dia...........suatu saat, tanpa kau sadari].



May 5, 2007

Dalam kurungan, ayam pun masih bisa bertelur

Basa-basi

Basa basi kadang jadi prolog yang diwajibkan dalam bersosialisasi. Marilah aku sekali-kali menuruti hukum bersama tentang basa-basi. Termasuk dalam menulis blog, maklum tak sebegitunya hands on dengan dunia blog. Ini kali pertama aku mengenal blog, itu pun setelah melewati tahap bertanya malu-malu sama beberapa teman yang kupikir eksistensi ke-blog-an nya sudah mencatat sejarah. Komentar semacam "Ya ampun, kemana aja ampe gak tau blog" atau "serius nggak ngerti blog" terpaksa jadi makanan kuping sehari kemaren. Tapi tak ada salahnya mencoba, menulis, toh untuk diri sendiri ini.

Kembali ke soal bahwa untuk kali ini aku akan menuruti hukum basa-basi, bukan berarti aku pengikut dan penganut basa-basi, tapi lebih karena perasaan tak guyub kalo tak dilakukan, alias menghormati nilai berbasa-basi yang sudah diakui dan dijunjung tinggi oleh semua khalayak manusia. Entah seberapa luhur makna nya tapi yang jelas tanpa si basa-basi ini, mungkin tak akan ada yang namanya komunitas, identitas sosial, perkawinan, kerja sama, peradaban, mobilitas atau bahkan globalisasi atau mungkin dunia ini chaos (semakin chaos). Ngelantur? mungkin, toh tak ada paksaan pembatasan dalam pengekspresian ide ngelantur juga di negeri ini kan? (sambil mata mengerling ke gambar presiden dan menteri kabinet SBY di pojokan kamar milik adinda-ku yang kelas 4 SD).

Apa pasal omong kosong ini dimulai? tak ada kejelasan alasan, hanya ulasan atas sekilas pemikiran teman.
Ya, saat itu, bahasan ini keluar pas lagi ngaso ba'da sholat dzuhur di mesjid UI depok, di hari yang terik, setelah sepagian baksos di yayasan cacat ganda. Mungkin kharisma dan keterbukaan mesjid UI depok lah sebenernya yang membuat tiba2 ide jujur tentang basa-basi ini bisa keluar.
(for your information tentang mesjid UI depok, boleh tuh sekali-kali main ke sana, mesjidnya terbuka, dingin, dengan danau di samping nya, plus ada angin semilir dan redup rimbun pepohonannya, bisa bikin nuansa gimana...gitu. Beruntung lah bagi mereka yang kuliah di UI depok, daya tarik lebih yang ditawarkan salah satu universitas terbaik di negeri ini. Sayang dulu gagal masuk UI...haha ngelantur beneran deh).

Kitab basa-basi

"Aku bosan berbasa-basi, menjadi pribadi umum", ujar temanku yang pandangan-nya menerawang ke ujung danau.
"Pribadi umum?", respon-ku ringan saat itu, antara peduli dan tak peduli. Maklum tenggorokan saat itu masih kering, meski beberapa glek glup air wudhu sudah diminum tadi.
"Ya, pribadi yang ramah, sopan, tertutur kata, tersenyum ketika orang senyum, tertawa ketika ada yang melucu, menyimak ketika ada yang menasihati", panjangnya penjelasan dia dengan nada yang sedikit serius, memaksa-ku untuk ngeeuh kalo ternyata dia serius.

"Yup, kadang saat bertemu orang aku merasa terpaksa harus tersenyum, pdhal sedang tak ingin senyum, atau kadang karena merasa nggak enak ada di kerumunan anak-anak, aku pura-pura ikut tertawa hanya untuk sebuah lelucon tak lucu", tambahnya.

Belum sempat mencerna apa maksud sebenarnya yang dia bicarakan, dia menambahkan, "Ya...kadang ketika aku cerita sama seseorang, mereka memberiku nasihat, padahal aku tak meminta untuk dinasihati, tak ingin sedikit pun nasihat dia, tapi di lain pihak tetap saja aku berusaha untuk sok-sokan khidmat mendengarkan", dia menghela napas panjang.

"sorry, jadi maksudnya, semua baik-baik kau yang ada, yang ku-kenal itu palsu? tak ada jujur-jujurnya sama sekali?", coba memverifikasi.
"kan ada penekanan kata kadang tadi', jawabnya tegas dan sedikit menolak post-response ku.

Mhmnn...statement dia nggak salah, kadang aku juga sering merasa terpaksa tersenyum, terpaksa tertawa, terpaksa pura-pura mendengarkan, terpaksa bertanya, terutama pas kewajiban interaksi sosial berbenturan dengan kondisi nurani yang lagi berbenah hati. Cengeng kalo dibilang lagi bersedih, tapi sejujurnya, memang keseringan itu terjadi kalo lagi bersedih.

"Benar juga, kadang aku ngerasa kayak gitu", jawabku.
"Dan tahu nggak, momen 'kadang' tadi adalah kondisi yang disebut dengan basa-basi", timpal temanku.

"Betapa banyak hari-hari ini diisi dengan basa-basi, hanya untuk menghindarkan benturan dan konflik antar pribadi orang-perorang. Hanya untuk kelihatan ramah, hanya untuk membuat orang lain merasa nyaman, hanya untuk membuat orang lain menyukai kita, hanya untuk membuat orang lain berpandangan bahwa kita teman yang menyenangkan, dengan kata lain kita tidak jujur atas perasaan sedih kita hanya untuk sebuah kenyamanan publik", penjelasannya makin panjang.
"Tahu nggak, kalo lama-kelamaan kita ini menjadi pribadi yang umum, pribadi yang sama, membosankan", dia menekankan.

"Ya, kalo pun memang definisi dan teori basa-basi mu itu benar, maka dengan itulah sebuah pertemanan dibentuk, dengan itulah sebuah genk dibentuk, dengan itulah sebuah komunitas dibentuk bahkan dalam skala besar, dengan itulah sebuah organisasi dibentuk, sebuah negara, peradaban dunia, ......o..ow...wait, pernikahan pula dibentuk dengan basa-basi", ya sedikit ekstrim sih implifikasi analysis nya.

"salah ngomong jadinya, keluar deh kebiasaan-mu mendramatisir segala sesuatu itu, nggak, aku nggak coba bikin definisi, dan pembenaran, tentang menjadikan basa-basi sebagai fondasi apa pun, cuma geli aja, jika ada orang diluar sana berpikiran sama denganku dan menganggap hal-hal itu tadi sebagai basa-basi, dan merasa bahwa kadang kita seolah menjadi pribadi umum, lantas sangat mungkin, kalo secara kebetulan dua orang yang berkepribadian umum bertemu dan saling berbasa-basi, bukankah itu lucu dan ambigu? menjadikan interaksi bak pentas adu omong kosong penuh kebohongan".

Hening sesaat, kurasa sebagian dari pikiran-ku ikut geli dan membenarkan, serta-merta mengiyakan kemungkinan itu terjadi, dan membayangkan kelucuan jika dua orang yang berkepribadian umum bertemu dan saling berbasa-basi . Tak menyangka, kalo dibalik celana bolong2nya, tersimpan pemikiran mendalam tentang sebuah kitab basa-basi. Bukan maksudku bilang kalo otak dia di balik celana bolong2nya, tapi sangat2 nggak lazim punya filsuf berpotongan rocker.

aku cuma bisa menjawab, "Mungkin, karena kita diberi keterbatasan untuk mampu mengerti dan memahami satu sama lain, atau bahkan impossible bisa saling memahami secara benar sekalipun mereka yang sudah dieratkan dalam pernikahan bertahun-tahun, jadi tetap harus diadakan bahasa-bahasa umum yang bersifat positif, supaya komunikasi bisa terjalin, dan bisa terbentuk interaksi".

"Dan kalo kau bilang itu sebagai basa-basi ya sah-sah aja, tapi yang jelas, kalo begitu basa-basi diperluin setiap saat, karena kalo semua orang bersedih tak mau berbasa-basi dan main sabot begitu aja, konflik-lah yang terjadi, perperangan setiap saat, chaos dunia!!!!!", jelasku.

"OOOooooww....stop it!! again?! don't take it too serious...kenapa kau nggak pernah bisa bikin conversation ini agak-agak loose....take it easy...." dia menyeringai.

"dengar ya, ayam aja, ditaro di dalam kandang, tak memiliki kebebasan, bahkan secara fisik penuh dengan batasan, masih bisa bertelur!! kenapa kita yang punya unlimited freedom, freewill and free choices... hanya dituntut sekedar jadi pribadi umum?!", tambah temenku.
"apa ini yang dibilang zaman dimana logika mengalahkan nurani dan feeling? apa ini zaman dimana kita semua terpenjara dalam definisi2 kebaikan umum, logika-logika picisan, dan paradigma2 umum yang absurd?", tambahnya...

"ups...ups....hati2, mind your own word....sekarng siapa yang take it too serious? katanya tadi jgn didramatisir....yang jelas aku bukan ayam petelur, jadi tak bisa bedain betul yang kau maksud".

Kita berdua tertawa, tapi sesaat setelah itu tiba-tiba hening "barusan ketawa basa-basi bukan?"............"masa bodoh...hahaha".
Kadang kejujuran pun terbatas, basa-basi muncul atas itu sesekali. Perlukah? kembali ke pribadi masing-masing.
[Dari satu hari saja]