December 9, 2008

Menemukan Tuhan Dalam Patung dan Lukisan

Ketika berbicara tentang sesuatu yang universal, maka itu menjadi tanpa batas(argumen pribadi). Ambil sebagai contoh, sebuah karya rupa. Yang sudah sangat akrab misalnya sebuat patung, atau sebuah lukisan. Memang karya rupa tak mesti selalu terbatas dengan seni. Apa pun itu jenisnya, ketika sebuah karya memang tidak memerlukan bahasa verbal, maka siapa pun bisa menikmati nya (jika persepsi subjektif penikmat berhubungan dengan apa yang ingin perupa sampaikan). Atau mungkin sekedar melihat dan memutuskan untuk melanjutkan melihat atau tidak dalam tataran terendahnya. Secara lebih umum meng-apresiasi. Dalam hal ini, sebuah karya rupa bisa mengeliminasi kebutuhan bahasa verbal. Mereka yang tidak berbicara dengan bahasa yang sama karena terlahir di tempat yang berbeda, dengan budaya yang beda dengan sang perupa, masih bisa mengapresiasi nya. Sedemikian pula, seorang pemahat dari Papua hasil pahatannya diterima dengan baik oleh komunitas pemahat di Canada, yang berbeda benua. Atau secara tidak langsung juga, mengeliminasi dimensi ruang. Lantas bagaimana dengan lukisan Rembrandt yang sudah berumur sekian tahun dan masih digemari dan dikagumi banyak orang, bahkan seorang pelukis zaman kini sekalipun. Ini pun memberikan argumen terleminasinya dimensi waktu.Dalam hal ini sebuah argumen muncul, bahwa sebuah seni rupa bisa mengeliminasi bahasa verbal, dimensi ruang/jarak, dan dimensi waktu. Benarkah?

Sangat subjektif memang jawaban atas pertanyaan tadi, tapi setidaknya saya cenderung membenarkan. Terlepas dari pasti banyak juga yang tidak setuju, saya melihat bahwa, sebuah seni rupa baru benar-benar diakui universalitas nya jika bisa diterima oleh banyak orang. Ada karakteristik unik dari seni rupa yang mampu diterima banyak orang. Agar karya seni tersebut bisa diterima tanpa pandang bahasa verbal, tanpa pandang dimana pun orang berada, dan tidak hanya diterima sesaat, maka seni rupa itu setidaknya harus datang asli dari sang perupa. Originalitas karya tersebut harus absolut atau tidak diragukan lagi. Menurut saya, originalitas adalah inti/essence-nya dari subjektivitas yang mampu dimanifestasikan secara fisik ke luar. Secara lebih mudah, originalitas harus berasal dari hati seseorang. Harus datang dari nurani yang terdalam, terpancar ke luar. Dan ketika sang perupa mampu menghidupkan apa yang di dalam hatinya menjadi sebuah bentuk fisik, itu membutuhkan talenta yang luar biasa, membutuhkan kerja keras, membutuhkan pengalaman, yang luar biasa yang kadang hanya sedikit orang mampu melakukannya. Di situlah letak tantangannya. Dan tentu itu semua akan tercirikan dengan sendiri nya, yang membuat orang yang melihat karya sang perupa akan lebih meng-hargai, menikmati, atau meng-apresiasinya.

Pertanyaan berikutnya adalah, originalitas yang seperti apa yang bisa diterima secara universal? Saya tidak punya jawaban pasti. Tapi sedikit tebakan saya, bahwa agar originalitas itu diterima secara universal, dia harus mewakili sebanyak mungkin orang. Tidak memihak siapa pun, tidak memiliki kepentingan apa pun selain kepentingan semua orang, karena dengan itu setidaknya ada unsur persamaan kepentingan, yang akan menimbulkan pemahaman atau bahkan rasa kepemilikan. Seperti apa? Kemanusiaan, kedamaian, keindahan, cinta, atau bentuk negatifnya.

Lantas, jika kita hubungkan dengan argumen awal. Bahwasannya karya seni rupa bisa mengeliminasi dimensi ruang, waktu dan bahasa karena ada originalitas yang universal dari sang perupa. Bisakah kita membalikan causalitas, menjadi; Jika kita mampu mengeluarkan originalitas universal kita terpancar ke luar menjadi sebuah karya fisik, Apakah karya kita mampu melewati dimensi bahasa, ruang dan waktu? Bagi saya ini sangat menarik. Karena ada kekuatan luar biasa yang ditawarkan dari kemampuan bernegosiasi dengan dimensi bahasa, ruang dan waktu

Pertanyaan kembali diulang, dengan berangkat dari pola yang sama, ketika kita tidak lagi berbicara hanya sebuah karya seni rupa. Tapi berbicara tentang kehidupan pribadi kita masing-masing. Dimana setiap hari kita tentunya berkarya, dalam skala nya masing-masing. Maka (menurut saya), apakah jika kita mampu memancarkan apa yang ada di hati kita, nurani terdalam kita ke luar, menjadi bentuk fisik (dalam manifestasinya masing-masing), kita mampu bernegosiasi dengan ruang, waktu dan bahasa? sekecil apa pun karya yang kita buat?

Bagi saya (pribadi) jawabannya adalah iya. Jawaban atas itu semua adalah iya. Sekecil apa pun yang kita kerjakan. Seminimum apa pun yang kita lakukan. Itu bisa melewati ruang, waktu, dan bahasa dengan satu syarat tentunya. Originalitas yang universal haruslah dijadikan tujuan. Keindahan, kebahagiaan, kedamaian, harus mampu kita pancarkan ke luar dalam setiap karya kita. Inilah letak keunikannya. Dimana originalitas universal menjadi tujuan. Dan sebaliknya, karena tujuan juga terletak pada originalitas, di dalam hati nurani manusia. Tujuan dan awal menyatu.

Saya sangat enggan sebenarnya menulis paragraf terakhir ini, karena kembali ini menjadi sangat subjektif. Bagi saya keindahan, kebahagiaan, kedamaian ataupun bentuk negatifnya akan bermuara menjadi satu, dalam zat yang paling representative, yaitu Dia yang satu, Tuhan. Dan ketika pernyataan tadi tentang originalitas menjadi tujuan diulang. Maka otomatis tujuan itu tergantikan menjadi Tuhan. Bukankah Tuhan sangat menghargai niat? Benar, karena di situlah originalitas berada, di dalam hati manusia, layaknya sebuah niat. Dan ketika pernyataan tentang tujuan dan awal menyatu diulang. Maka Tuhan menjadi niat kita, menyatu dalam hati nurani. Dalam kata lain, jika konsep tadi kita terapkan, maka akan terpancar sifat-sifat mulia (illahiyah), sifat-sifat Tuhan dalam diri kita ke luar menjadi bentuk fisik. Dan jika itu dilakukan oleh semakin banyak orang, maka akan semakin banyak terpancar sifat illahiyah.

Mungkinkah melewati dimensi-dimensi tadi? Mungkinkah mengeliminasi dimensi-dimensi itu ? Kembali, jawaban saya mungkin. Karena sekali lagi, Tuhan adalah sumber dimensi, Dia yang menjadi kan dimensi itu ada dan tidak ada. Maka apa yang kita perbuat, apa yang kita lakukan ketika kita mampu memancarkan originalitas universal/sifat-sifat ke-Tuhan-an dalam niat dan tujuan (awal dan akhir, tak terputus, atau berkesinambungan ; istiqomah), maka kita pasti mampu melewati dimensi-dimensi itu. Melewati dimensi ruang dan waktu, melewati semua keterbatasan fisik. Bukankah itu yang disebut kekekalan ?(sebagian dari pejelasan tentang kekekalan menyatakan demikian ; hilangnya dimensi fisik dan waktu). Bukankah itu yang dijanjikan Tuhan pula ? Kekekalan. Dan bukankah itu pula sifat Tuhan ? Maha Kekal. Menyatu dengan Tuhan?

Hanya berbagi pertanyaan. Dari satu hari saja.

[Dalam memperingati Hari Idul Adha, Dimana para manusia mengikuti sunnah Rasul, berkumpul di Arafah, layaknya hari pembalasan, dimana kesanalah kita semua akan kembali...Selamat Idul Adha]

2 comments:

Anonymous said...

g ada yg kasih komen di postingan yg ini... berat sih Liiiin..


-mg-

Ka-el said...

Meg..ini gw lagi nge-hang jd nulis2 ngga jelas..hehe..