February 12, 2008

Permasalahan keluarga dan kaitannya dengan puasa

by Ustad Rusli Malik

Permasalahan paling mendasar yang biasanya menjadi sumber ketidak harmonisan keluarga adalah seputar “perut dan di bawah perut”, yang sepertinya sudah menjadi barang jelas tanpa perlu didefinisikan ulang lagi. Meskipun biasanya ada pemicu-pemicu lain, tapi ketika di runut, hal yang paling mendasar yang menjadi inti permasalahan timbulnya ketidak-harmonisan rumah tangga adalah seputar “perut dan dibawah perut”. Apa sih “perut dan dibawah perut” itu? Saya asumsikan anda mengerti.

Sedikit hal dan fakta tentang ke-berkeluarga-an dalam islam

Sebenarnya penjelasan dan fakta yang disampaikan oleh ustad cukup banyak, tapi setidaknya yang terekam dalam kepala saya adalah seperti ini:
Stabilitas keluarga itu penting. Sebagai wadah pendidikan anak, dirasa tidak akan berhasil membentuk pribadi anak yang soleh dan solehah jika tidak ada ketenangan di dalamnya. Satu point juga bahwasannya di dalam Al Qur’an hampir semua riwayat Nabi dan Rasul selalu dilengkapi dengan hal tentang keluarga-keluarga mereka. Nabi Adam a.s dengan Ibu Hawa, Nabi Ibrahim a.s dengan Hajar dst -> supaya tentunya kita bisa mengambil pelajaran dan petunjuk dalam membina keluarga kita. Hal yang perlu diingat bahwa fakta-fakta keluarga para nabi tidak selalu dalam track record bagus, ada juga yang tidak, dan hal ini sesuai dengan polemik yang ada (terlepas dari kurun waktu), oleh karena itu Allah swt banyak sekali memberi petunjuk dalam Al Qur’an melalui sejarah para Nabi dan keluarga nya.

Dan saking pentingnya pula tata cara berkeluarga ini dijelaskan dalam ayat-ayat Al Qur’an sangat detail: dari mulai memilih pasangan (budak islam lebih baik dari pemuda/i merdeka, kaya, berstatus sosial tinggi dan menarik hati), hal tentang menikahnya sendiri, hal tentang warisan, sampai hal tentang talaq dan hal-ikhwal mengatur urusan rumah tangga dalam berbagai kondisi disebutkan dalam Al Qur’an (simak An Nisa: 4, 23, 24, 25, Luqman:14, Al Ahqaf:15, Ali Imran: 14, Al-Hujarat:13, Al Baqarah:187, 221, 223, 236, An Nur: 3, 26 dan seterusnya-seterusnya).
(Padahal jumlah ayat Al Quran yang menjelaskan perihal sholat saja tidak sebanyak yang menjelaskan tentang per-keluarga-an; tanpa bermaksud membandingkan nilai dan makna antara dua hal tersebut). Sebagai informasi, ayat alquran yang menjelaskan tentang sholat dalam prakteknya hanya menjelaskan bahwa itu adalah ibadah yang terdapat di dalamnya berdiri dan sujud, sehingga kita dalam prakteknya mencontoh kepada Rasulullah saw (Al Qur’an tidak dengan detail memberikan referensi tentang ini).

-- Al Isra: 78-79
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا#
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا#

[78] Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). [79] Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.

– Az Zumar: 39
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاء اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran).

-- Al Insan: 26
وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا

(Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari).

Nyata-nyatanya petunjuk tentang tata cara berkeluarga ini lebih banyak ditemukan dalam Al Qur’an di bandingkan bahkan dengan petunjuk tentang tata cara sholat sekalipun. Ini sedikitnya memberikan gambaran bahwa berkeluarga itu memerlukan pengetahuan, perencanaan dan betapa Allah swt membekali kita dengan sekian banyak pengetahuan melalui Al Qur’an agar kita berhasil dalam berkeluarga.

Bahwa ber-keluarga itu adalah sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah swt.

Ayat 21 surah Ar Ruum yang biasa dijadikan pembuka di pernikahan.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

(Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir).

Bahwa diciptakannya pasangan atau berpasangan adalah tanda kebesaran allah (ayaatihi). Karena apa? agar jiwa-jiwa itu tenang. Ke-TENANG-an ini adalah kebutuhan fitrah/mendasar manusia, dan dengan ke-maha pengasih-anNya, Allah swt berikan petunjuk bahwa itu akan tercapai melalui berkeluarga. Makanya bagi yang tidak menikah jiwanya tidak akan merasa tenang. Dan tentunya, mereka yang tidak menikah adalah bertentangan dengan kebesaran Allah Swt. Dan tidak dibenarkan dalam islam untuk tidak menikah.

Bagaimana puasa dapat menunjang kita menjadi jiwa yang tenang – mereduksi konflik dalam keluarga?

Bahwa potensi puasa untuk menjadikan kita mencapai nilai harmonis dan mawaddah - tenang dalam keluarga sangat tinggi. Kenapa? Karena ada dua korelasi besar antara puasa dan konflik keluarga. Seperti sudah sedikit di singgung, sebagian besar permasalahan berkeluarga adalah masalah “perut dan di bawah perut”. Sementara pada hal yang paling mendasar dari puasa adalah menahan diri dari segala hal yang berhubungan dengan “perut dan di bawah perut”. Sehingga secara tidak langsung saja sekarang sudah bisa dilihat bagaimana peran puasa itu seharusnya dapat mengontrol segala konflik yang bersumber dari perut dan di bawah perut, yang implikasi nya secara langsung berarti harus dapat meredam bom atau menyelesaikan semua permasalahan keluarga.


Beberapa point penting yang mungkin perlu diperhatikan.

- Bahwasannya puasa itu mengendalikan urusan “perut dan dibawah perut” agar terkontrol. Di ibaratkan bahwa sebenarnya hal “perut dan dibawah perut” ini adalah bom yang mau meledak. Maka dengan puasa harusnya bom ini bisa diredam, dan dipindahkan konsentrasi nya ke “kepala”. Dengan banyaknya berdzikir, dan berpikir tanpa menghiraukan urusan ”perut dan di bawah perut”. Hal tentang berpuasa ini dijelaskan di Al Baqarah: 183-185, 187. Sudah sangat akrab di telinga perihal Al Baqarah: 183 (tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
(Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa).

Ustad tidak langsung memberikan hal dan penjelesan berhubungan dengan ayat ini tapi dia memberikan point bahasan baru sebagai berikut.

- Puasa memindahkan konsentrasi hal “perut dan di bawah perut” ke “kepala”.
Perihal aturan main dan hal-hal yang berkenaan dengan praktek dijelaskan juga dalam Al Baqarah: 184 dan 187. Tapi yang sering dilupakan adalah ayat yang sebenarnya menjadi pondasi utama yang menjadi latar belakang kenapa kita di wajibkan berpuasa. Yaitu Al Baqoroh: 185.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

((Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur).

Satu point penting bahwa Al Qur’an lah yang menjadi latar belakang kita berpuasa di bulan Ramadhan. Untuk menghormati diturunkan nya ayat-ayat Allah, petunjuk dan pembeda yang seyogyanya menjadi rule of conduct dalam hidup kita. NAH jika pada 11 bulan lainnya kita berkutat dalam berbagai hal secara mungkin semrawutan, pada bulan Ramadhan ini, konsentrasi kita dituntut untuk berpindah ke Al Qur’an. Kita dianjurkan tidak saja memperbanyak membacanya tapi juga mempelajari Al Qur’an. Memahami, menghafalkan dan mengamalkan Al Qur’an se-komprehensive mungkin adalah senantiasa menjadi tajuk-nya Ramadhan. Karena pada bulan inilah dia (Al Qur’an) pertama kali diturunkan. Sedemikian konsentrasi kita sebaiknya berpindah ke kepala, menjadi manusia yang berpikir dengan memberikan porsi lebih banyak waktu untuk ber-kencan dengan Al Qur’an, dan tidak lagi mengurus hal-hal duniawi termasuk di dalamnya hal-hal ”perut dan di bawah perut”. Maka serta merta, permasalahan-permasalahan keluarga itu seharusnya TIDAK ADA dan tereduksi sebagai konsekwensi logis atas melakukan puasa. Ustad mengemukakan keheranan beliau karena ternyata secara statistic melihat kenyataan yang ada pada bulan Ramadhan “tingkat perceraian meningkat” dan “kebutuhan makanan juga meningkat”. Setidaknya dapat dengan jelas dilihat bahwa tujuan berpuasa di kebanyakan masyarakat sekarang BELUM BERHASIL memindahkan urusan “perut dan bawah perut” ke kepala.

Dengan memindahkan pusat konsentrasi diharapkan kita memanfaatkan makanan untuk berpikir. Hilangkan konsep {berpikir untuk makan/mengejar dunia dan kekayaan untuk bisa makan}. Tetapi kebalikannya {makan untuk berpikir}. Dan bahwasannya tanpa makan pun harus tetap bisa berpikir.

- Pemindahan konsentrasi tersebut bertujuan akhir TAQWA. Dari sini, ustad mengajak kembali ke Al Baqarah: 183 tentang perintah berpuasa. Bahwasannya ayat ini dimulai dengan يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ
Dan diakhiri dengan لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“….agar kamu sekalian bertaqwa”. Disini sangat straight forward bahwa tujuan berpuasa itu adalah taqwa. Lantas apa itu taqwa? Yang paling gampang marilah kita merujuk ke Al Imran: 133-135

133. وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
134. الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
135. وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُواْ اللّهَ فَاسْتَغْفَرُواْ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللّهُ وَلَمْ يُصِرُّواْ عَلَى مَا فَعَلُواْ وَهُمْ يَعْلَمُونَ


[133] Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa [134] (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan. [135] Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

Lihatlah definisi di atas tentang taqwa, serta merta tercapai semua jika kita melaksanakan puasa. Berinfaq, shadaqoh, menjaga amarah dan banyak memohon ampun adalah termasuk bagiaan dari keutamaan PUASA. Maka jelas sekali implikasi akhir dari puasa sebeneranya, jika tadi saya berbicara soal mereduksi permasalahan keluarga, ada tujuan akhir yang lebih tinggi. Hilangnya konflik berkeluarga tersebut tercapai dengan sendiri nya hanya sebagai nilai bawaan proses / hasil samping proses karena sebenernya TAQWA lah yang menjadi tujuan akhirnya. Karena sekali lagi penghargaan tertinggi atas manusia itu tidak didasarkan akan atribut duniawi “perut dan di bawah perut” tapi oleh “isi kepala”nya, oleh tingkat ketaqwaannya. Oleh karena itu jelaslah bahwa berpuasa itu adalah untuk kita sendiri, rugilah mereka yang tidak menjalankan dengan sebaik-baiknya.

Satu hal yang dijadikan point sindiran di sini oleh ustad. Bahwa puasa itu tidak terbatas pada urusan perut, tapi juga menyangkut mengontrol emosi. Dan ingat sekali lagi tujuan akhir nya adalah taqwa, sedemikian ketika kita berbuka puasa, bukan berarti selesai sudah tujuan akhir. Taqwa tetap harus ada dalam kepala. Bukan berarti ketika magrib datang lantas semena-mena kita mengumbar bicara, bergosip dan tidak menjaga hati. Datangnya berbuka hanya menandakan diperbolehkannya perihal “makan dan syahwat” tapi itu tetep harus dibatasi. Banyak berdzikir, membaca Al Qur’an dan meminta ampun senantiasa terus disempurnakan. Makanya ada amalan-amalan qiyamul lail – witir bahkan i’tikaf dianjurkan untuk diperbanyak di bulan Ramadhan.

- Puasa meninggalkan yang halal. Seperti sudah dijelaskan tadi tentang tujuan akhir puasa adalah TAQWA. Nah dalam runut prosesnya ada hal-hal yang dikontrol dari segi akhlak seperti dijelaskan dalan Ali Imron 133-134 yang juga diamalkan selama bulan ramadhan, dan seperti telah di jelaskan dalam uraian di atas. Lantas dalam hal lahiriyah, yaitu puasa tidak makan dan minum dengan batas-batas waktu sesuai Al Baqarah:187. Tentunya hal yang diperintahkan oleh Allah swt dalam korelasinya harus benar satu sama lain. Dalam hal ini, menahan tidak makan dan tidak minum berarti juga harus mempunyai tujuan sama, yaitu Taqwa. Lantas bagaimana prosesnya?
Kenapa menahan makan dan minum bisa meningkatkan derajat sampai ke level taqwa?
Bagi yang islam awam maka, mereka didefinisikan secara kasar sebagai islam hanya dengan bersaksi atas ketauhidan Allah SWT sebagi Rab-nya dan tak mempersekutukanNya serta atas Muhammad Saw sebagai utusan Allah Swt. Mereka yang islam awam akan senantiasa menghindarkan diri dari hal-hal yang HARAM. Nah jika meningkat satu level derajat ke imanannya, dia tidak hanya menghindarkan diri dari yang haram tapi juga menghindarkan dari hal-hal yang SYUBHAT. Nah pada tingkatan lebih tinggi nya lagi bukan saja yang syubhat tapi juga dari yang HALAL (makan-minum-berhubungan suami istri). Lihatlah bahwa makan, minum dan berhubungan suami istri itu adalah halal, tapi ketika berpuasa pada bulan ramadhan, hal-hal tadi tidak dilakukan. Maka tidak salah lagi bagi yang BENAR-BENAR berpuasa pada bulan Ramadhan, konsentrasi nya hampir seluruhnya terpindah ke kepala, banyak berdizikir, memohon ampun, belajar, ber-amal dan beribadah maka akan meningkat akan meningkatlah derajatnya.

No comments: