March 22, 2008
Mahalkah cinta itu?
Seberapa mahal? Yang jelas kocek yang dirogoh untuk sebuah kata cinta (cinta yang mana?) bisa lumayan terbilang tidak sedikit di zaman sekarang, apalagi di kota metropolitan seperti Jakarta. Dua orang yang mengaku berpacaran harus setidaknya punya modal untuk romantisme weekend dengan sekedar jalan-jalan di mall, nongkrong di café atau pergi ke bisokop. Jangan di bilang kalo soal check in (yang ini masih bisa dikategorikan pacaran atau sudah lebih menjurus ke gaya gaul yang lebih bebas? Silahkan jelaskan sendiri), jelas dipungkiri atau tidak, banyak waktu dan biaya yang terpakai untuk itu semua.
Gw bukan orang yang anti pacaran, go head dengan pilihan masing-masing. Tapi jika anda nyasar dan kebetulan mampir di sini (kesannya banyak aja yang baca blog gw), maka yang dimaksud pacaran di sini bergantung ke konteks siapa yang menjadi subjek dan siapa yang menjadi objek berpacara, jangan diartikan secara umum dan praktis dulu, bagi kaum suluk (suluk apaan sih?), mereka pun punya kekasih, dan sah-sah saja kalo saya bilang di sini bahwa mereka pun berpacaran. Siapa kekasih mereka? Bagaimana mereka berpacaran? Itulah nanti mungkin yang akan membawa ke jawaban sebenarnya cinta itu mahal nggak sih?
Keliatannya saya tidak akan menjawab secara langsung pertanyaan-pertanyaan di atas. Karena toh bisa di jawab setelah mengenal apa itu cinta yang sebenarnya ingin saya ungkapkan.
Cinta yang hakiki. Itulah yang ingin saya ungkapkan di sini.
Lho kok, jadi mereka dua orang remaja yang berpacaran sebelum menikah itu tidak memiliki cinta yang hakiki? Mmm…saya takut sekali kalo sampai salah menggunakan kata-kata karena toh saya sendiri belum ahli dalam hal cinta ini. Bagi saya, ingat bagi saya lho, bagi anda mungkin berbeda. Cinta yang hakiki adalah cinta yang sebenarnya. Cinta yang tak bisa lekang oleh waktu, tak terukur oleh dimensi, tak tertandingi oleh yang lain atau hal apa pun.
Bukan dalam artian nanti aku mendikotomikan cinta itu sendiri sedemikian cinta seolah terkotak-kota dan terbagi-bagi, tapi agar lebih terkesan damai dan tidak menyudutkan siapa pun, maka aku akan memakai pengelompokkan subjek dan penjelasan objek dalam menjelaskan cinta ini.
TAK LEKANG OLEH WAKTU.
Karena apa, karena waktu itu sendiri adalah ukuran atas berlalu nya suatu cakupan dan suatu satuan waktu. Adakah waktu itu? Siapakah yang menciptakan waktu itu? Apakah waktu itu kekal? Waktu itu ada, bergerak ke depan secara pasti (depan – masa depan) dan tercipta seiring dengan tercipta dimensi ruang itu sendiri yang juga bergerak ke depan dan meluruh, tapi apakah waktu bersifat kekal? Yang kekal itu hanya satu, yaitu Tuhan. Orang Madang mendifinisikan waktu yang kekal sebagai waktu yang sangat-sangat lama dan tak terhingga. Tapi apakah sebenarnya yang tak terhingga itu? Yang tak terhingga itu adalah Tuhan. Tak ada objek yang kekal selain Allah. Maka cinta kepada objek yang kekal (dan tiada dua-nya) adalah cinta yang hakiki.
TAK TERUKUR OLEH DIMENSI
Manusia mencintai manusia. Manusia adalah mahluk, dan mahluk itu sendiri fana. Tidak ada mahluk yang kekal. Semua mahluk itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi tidak ada mahluk yang kekal. Dimana letaknya manusia atau dimensi manusia? Secara jasad dia terletak di bumi. Apakah bumi itu kekal? Tidak. Bumi diciptakan oleh Tuhan jadi otomatis bumi itu tidak kekal. Dan jikalau bumi ini hancur, manusia pun akan hancur (kiamat misalnya), maka tidak ada keberadaan manusia itu sendiri yang kekal. Karena yang kekal itu hanyalah Tuhan. Jadi hanya cinta kepada Tuhan lah yang tak terukur oleh dimensi. Ingat dimensi itu sendiri, diciptakan oleh Tuhan.
TAK TERTANDINGI OLEH YANG LAIN
Karena yang lain selain Tuhan itu adalah fana. Maka tak sepantasnya kita mencitai sesuatu yang fana. Hanya cinta kepada Allah lah yang hakiki. Cinta seperti inilah yang kekal, tak akan hilang dalam dimensi waktu, dan tak boleh tertandingi oleh hal yang lain. Karena apa? Karena ternyata, hanya Allah swt lah objek yang paling layak di cinta. Objek satu-satu nya yang paling haq untuk di cinta. Dia itu kekal, Dia itu tunggal, Dia itu tidak fana.
Lantas ketika merujuk kepada satu predikat mahalkah mencintai-Nya? Mahalkah ketika kita merindukan sang kekasih dan ingin bertemu dengan Nya (sang kekasih). Mahalkah ketika kita ingin menatap wajah-Nya yang Agung. Mahalkah ketika ke rindu-an itu semakin mendalam dan kita tidak bisa membendung. Bagaimana kita bisa bertemu dengan-Nya? Bagaimana kita bisa menyatu dengan-Nya? Bagaimana agar kita bisa senantiasa tetap menatap wajah-Nya? Wajah sang kekasih yang di idamkan.
Lalu bagaimana dengan cinta kepada orang tua, cinta kepada suami dari seorang istri, cinta orang tua kepada anak-nya, cinta seorang hamba kepada imam dan Nabi serta Rasul. Itu semua jangan di dikotomikan, karena toh itu sesuai dengan fitrah kita sebagai manusia. Islam tidak menuntut pengikutnya untuk melupakan itu semua, justru marah merengkuhnya, karena toh islam itu sendiri berarti fitrah, sejalan dengan fitrah manusia. Adalah tidak adil jikalau islam melarang manusia untuk mencapai dan bergerak dalam fitrahnya sendiri. justru islam haruslah adil dalam konteks ini. Satu-satunya penjelasan yang bisa saya ungkapkan adalah cinta kepada selain Allah yang masih merupakan fitrah manusia haruslah dijadikan turunan atas cinta kepada Allah swt. jadi tetap cinta yang melandasi itu semua adalah cinta dalam ridha, ikhlas dan khusyuk kepada sang kekasih Allah swt. Dimana sebagai turunan tentunya tidak pernah melebihi cinta kita kepada Allah tapi tetap secara esensi dia hadir sebagai fitrah manusia.
[demikian, dari satu hari saja, di tulis ulang setelah mendengar dan membaca beberapa sumber].
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
yupz setuju banget tuch...
kita boleh mencintai seseorang yang ada didunia ini (seperti kekasih, ortu, atau keluarga)... tapi dengan syarat... cintailah mereka karena Tuhan semata.
Dengan begitu... hati baru tenang dan ikhlas...
Keren juga tuch tulisan muw...
@ nicesmile..
wah..(ge-er mode), thanks..emang tak ada habis2-nya kalo soal cinta..
very like this *two thumbs up*
-linda-
Post a Comment