[dirangkum dari ceramah-ceramah Ustad Rusli Malik di Mabit-4]
Mari dimulai dengan mengenali kebahagiaan itu sendiri. Yang saya tangkap adalah bukan secara gramatikal atau leksikal, tapi lebih ke makna filosofis dengan perunutan atas essensialitas karakteristik khas dari ”kebahagiaan” itu sendiri. Karena keliatannya hanya dengan pendekatan itulah, kita akan lebih mampu mencapai kesepakatan arti dan kesejajaran pendapat dalam pemahaman kata ”kebahagiaan”.
Kenapa pula kita repot-repot ingin bahagia? Tidak perlu lah bahagia asalkan hidup saja sudah cukup?
Kalo anda setuju atau mendukung jalanya pertanyaan diatas, maka anda termasuk yang perlu waspada. Tapi jika anda menjawab sebaliknya, maka anda normal. Jelas, saya kira tidak bisa dipungkiri, bahwa siapa pun anda, berasal dari mana pun anda, berkulit apa pun anda, tanpa melihat sisi history dan pengaruh budaya apa pun yang melekat ke anda, anda ingin bahagia. Karena apa? Karena itulah yang disebut fitrah. Ada dalam diri manusia dengan sendirinya. Hal paling mendasar yang pasti ada, dan tidak mungkin tidak ada di setiap jiwa yang berakal dan baligh.
Berangkat dari pemahaman kita bahwa kebahagian itu adalah fitrah, maka menjadi sangat mendasar untuk kita (manusia) bila berkeinginan untuk memiliki bentuk kebahagiaan itu. Lantas semudah itukah kita bisa bahagia? Apakah kita bisa memiliki kebahagiaan itu?
Kenapa pula kita repot-repot ingin bahagia? Tidak perlu lah bahagia asalkan hidup saja sudah cukup?
Kalo anda setuju atau mendukung jalanya pertanyaan diatas, maka anda termasuk yang perlu waspada. Tapi jika anda menjawab sebaliknya, maka anda normal. Jelas, saya kira tidak bisa dipungkiri, bahwa siapa pun anda, berasal dari mana pun anda, berkulit apa pun anda, tanpa melihat sisi history dan pengaruh budaya apa pun yang melekat ke anda, anda ingin bahagia. Karena apa? Karena itulah yang disebut fitrah. Ada dalam diri manusia dengan sendirinya. Hal paling mendasar yang pasti ada, dan tidak mungkin tidak ada di setiap jiwa yang berakal dan baligh.
Berangkat dari pemahaman kita bahwa kebahagian itu adalah fitrah, maka menjadi sangat mendasar untuk kita (manusia) bila berkeinginan untuk memiliki bentuk kebahagiaan itu. Lantas semudah itukah kita bisa bahagia? Apakah kita bisa memiliki kebahagiaan itu?
Kebahagiaan vs Kesenangan
Bagi yang menjawab, “ya saya sudah bahagia” maka beruntunglah anda, saya ikut bersyukur, tapi jika kemudian jika ada yang menjawab “kadang bahagia, kadang tidak”, maka kembali harus coba di verifikasi bagaimana anda mendifinisikan kebahagiaan itu, jangan-jangan yang anda rasakan itu adalah “kesenangan”, karakteristik lahiriah yang nyana nya meng-kamuflage kebagahagiaan hakiki. Karena apa? karena ketika anda memiliki sesuatu yang hakiki (kebahagiaan=hakiki), maka itu harus bersifat konsisten. Kembali, karena itu sesuai dengan fitrah anda, maka seharusnya tidak ada unsur “kadang”, dan islam menunjukkan itu. Bagaimana caranya anda mencapai fitrah anda untuk berbahagia.
Lantas apa itu kesenangan? Bagaimana membedakannya dengan kebahagiaan?
1- Kesenengan itu bersifat temporary/insidental (oleh karenanya mungkin anda merasakan ”kadang senang kadang tidak”), karena itu bergantung pada kejadian/hal yang membuat anda senang.
2- Kesenangan itu bersifat lahariah atau materiil; kecenderungan nya dirasakan ketika bersinggungan dengan kemampuan melewati proses lahiriah, atau pencapaian target lahiriah.
3- Kesenganan vs kecewa (jika tidak mendapatkannya).
Merunut dan mengevaluasi kita (manusia) bahwasanya, adanya kita dan eksistensi kita itu yang paling mendasar adalah dengan adanya JIWA. Ingat bahwa jiwa itulah yang nantinya akan dinilai raport baik buruknya oleh sang khalik, maha pencipta, dan kreator sejati jiwa dan pelengkapnya.
1- Dan jiwa itu bersifat immaterial. Karena sifat immaterial nya itu, maka kebahagiaan hakiki itu harus sejalan dengan jiwa itu sendiri. Oleh karenanya, kebagaiaan itu tidak bersifat materiil.
2- Dan seiring dengan jiwa itu sendiri (kekal?) maka jika kita bisa mendapatkan kebahagiaan, maka itu harus bersifat kekal, konsisten.
3- Uniknya karena itu tidak ada lagi itu unsur “kecewa”.
Lebih jauh tentang kebahagiaan
Karena kebahagiaan itu bersifat non materi, maka lantas bagaimana kita mencapai kebagaiaan itu sendiri? Secara logis, maka kita harus bergerak ke arah yang tertinggi dari non-materi itu sendiri, yaitu Allah SWT. Jadi, sesederhana itukah?
No comments:
Post a Comment