(dirangkum dari Kajian Rhaudah, Ustad Bagir, 04/05/2008)
Apa sih hakikat wahyu yang diturunkan kepada Nabi?
Apakah hakikat wahyu? Wahyu berasal dari Tuhan yang diturunkan kepada Nabi berisi tentang hakikat-hakikat ke-Tuhan-an (devine realities / al haqoik illahiyyah) dan hal-hal yang mengutuhkan eksistensi manusia. Oleh karena itu, kehadiran Nabi di dunia menjadi wajib adanya (the necessity of prophethood), sebagai bentuk ke-maha adilan-Nya. Karena tanpa ada hal ini manusia tidak bisa hidup dan eksis secara total sebagai manusia sesungguhnya (kebutuhan primer manusia).
Bagaimana sih wahyu diturunkan?
Nabi menerima wahyu secara spiritual ke dalam qalbu-nya (wa nazala fihi ruhul amin ‘ala qalbika), sedemikian devine realities ini (hakikat-hakikat illahiyyah) ini dimanifestasikan/di’tajalli’kan dalam level ruhani bukan physical. Oleh karena itu, manusia lain tidak dapat mengetahui atau mendeteksi proses turunnya wahyu tersebut, karena qalbu bersifat sangat pribadi.
Bagaimana cara meng-identifikasi Nabi / penerima wahyu?
Salah satu cara untuk membuktikan kenabian seseorang itu adalah mukjizat (fauqul ‘adah). Pertanyaan berikutnya adalah apakah hakikat mukjizat itu? Fauq (diatas/beyond) al ‘adah (kebiasaan). Jadi secara literal mukjizat adalah sesuatu yang diluar kebiasaan. Muncul lagi pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan biasa? Bagaimankah konsep diluar kebiasaan ini sebenarnya agar bisa didefinisikan sebagai mukjizat. Nabi Sholeh mukjizatnya ‘unta keluar dari batu’, itu adalah salah satu contoh fauqul ‘adah. Dalam teologi fauqul ‘adah itu:
1- No precedent (sebelumnya tidak ada orang yang pernah melakukan hal itu/ke belakang).
2- No repetition (di masa depan tidak akan ada orang yang melakukan hal yang sama/ tidak terulang).
3- No learning process (tidak ada proses belajar, tidak bisa dipelajari).
Jadi secara singkat, mukjizat adalah hal-hal yang diluar kebiasaan, belum pernah ada yang melakukannya dan tidak akan ada yang mampu mengulangi serta tanpa proses relajar. Contoh mukjizat Nabi Muhammad Saw adalah Al Qur’an, membelah saqul qamar (bulan); bisa dibuktikan bahwa dua-duanya adalah mukjizat. Dua hal tersebut tidak pernah ada yang melakukannya, tidak akan terulang dan tanpa melalui proses belajar.
Lebih jelas lagi tentang mukjizat?
Secara jenis, mukjizat terbagi dua:
1- Mukjizat qauli (transmitif, ilmiah); Contohnya Al Qur’an. Bahasanya yang sangat istimewa. Sebagian ada yang menyebut bahwa yang menyebabkan Al Qur’an dikatakan sebagai mukjizat adalah karena Tuhan berbicara dalam bahasa manusia (pembicaraan Tuhan dalam bahasa manusia). Mukjizat qauli adalah bukti untuk orang-orang intelektual (karena orang intelektual tidak gampang di permainkan dengan hal-hal bersifat luar biasa dari segi perbuatan).
2- Mukjizat fi’li (perbuatan yang dilakukan); seperti mukjizatnya Nabi Sholeh dimana unta keluar dari batu, Nabi Musa dimana lautan terbelah. Nabi Muhammad Saw yang membelah bulan. Ini adalah bukti untuk orang-orang awam. Terjadinya sekali, sekedar untuk membuktikan kenabian beliau. Nabi tidak menginginkan seseorang beriman hanya karena melihat hal yang luar biasa saja.
Bagaimana sikap kita jika ada orang yang mengaku sebagai Nabi?
Jadi jika ada seseorang mengaku sebagai Nabi kita tinggal tanya dia untuk membuktikan mukjizat fi’li dan qauli-nya. Pada zaman Nabi banyak yang mengaku sebagai Nabi. Ada diantaranya seorang yang mengaku sebagai Nabi, kemudian Nabi Muhammad Saw meminta dia untuk menunjukkan mukjizat fi’li nya dengan menaikkan permukaan air sungai. Tapi ternyata dia tidak mampu, yang ada malah permukaan air sungainya turun. Nabi pada saat itu tidak berbuat apa-apa lagi, karena terbukti dengan sendirinya kalau dia bukanlah Nabi. Tapi Nabi tidak pernah menyatakan bahwa “darahnya halal” karena itu, atau rumahnya boleh dirusak (seperti yang dilakukan segelintir orang atau golongan di negeri ini). Nabi tidak pernah mengajarkan kita untuk agresif, karena menentukan kebenaran itu tidak boleh agresif. Karena apa? Karena ada ‘lakum di nukum waliyadin’. Tidak mungkin ada ayat ini jika kita dituntut untuk agresif. Sekali lagi islam itu rahmatan lil’alamin, tidak mengenal sikap agresif dan main hakim sendiri.
Apa sih hakikat wahyu yang diturunkan kepada Nabi?
Apakah hakikat wahyu? Wahyu berasal dari Tuhan yang diturunkan kepada Nabi berisi tentang hakikat-hakikat ke-Tuhan-an (devine realities / al haqoik illahiyyah) dan hal-hal yang mengutuhkan eksistensi manusia. Oleh karena itu, kehadiran Nabi di dunia menjadi wajib adanya (the necessity of prophethood), sebagai bentuk ke-maha adilan-Nya. Karena tanpa ada hal ini manusia tidak bisa hidup dan eksis secara total sebagai manusia sesungguhnya (kebutuhan primer manusia).
Bagaimana sih wahyu diturunkan?
Nabi menerima wahyu secara spiritual ke dalam qalbu-nya (wa nazala fihi ruhul amin ‘ala qalbika), sedemikian devine realities ini (hakikat-hakikat illahiyyah) ini dimanifestasikan/di’tajalli’kan dalam level ruhani bukan physical. Oleh karena itu, manusia lain tidak dapat mengetahui atau mendeteksi proses turunnya wahyu tersebut, karena qalbu bersifat sangat pribadi.
Bagaimana cara meng-identifikasi Nabi / penerima wahyu?
Salah satu cara untuk membuktikan kenabian seseorang itu adalah mukjizat (fauqul ‘adah). Pertanyaan berikutnya adalah apakah hakikat mukjizat itu? Fauq (diatas/beyond) al ‘adah (kebiasaan). Jadi secara literal mukjizat adalah sesuatu yang diluar kebiasaan. Muncul lagi pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan biasa? Bagaimankah konsep diluar kebiasaan ini sebenarnya agar bisa didefinisikan sebagai mukjizat. Nabi Sholeh mukjizatnya ‘unta keluar dari batu’, itu adalah salah satu contoh fauqul ‘adah. Dalam teologi fauqul ‘adah itu:
1- No precedent (sebelumnya tidak ada orang yang pernah melakukan hal itu/ke belakang).
2- No repetition (di masa depan tidak akan ada orang yang melakukan hal yang sama/ tidak terulang).
3- No learning process (tidak ada proses belajar, tidak bisa dipelajari).
Jadi secara singkat, mukjizat adalah hal-hal yang diluar kebiasaan, belum pernah ada yang melakukannya dan tidak akan ada yang mampu mengulangi serta tanpa proses relajar. Contoh mukjizat Nabi Muhammad Saw adalah Al Qur’an, membelah saqul qamar (bulan); bisa dibuktikan bahwa dua-duanya adalah mukjizat. Dua hal tersebut tidak pernah ada yang melakukannya, tidak akan terulang dan tanpa melalui proses belajar.
Lebih jelas lagi tentang mukjizat?
Secara jenis, mukjizat terbagi dua:
1- Mukjizat qauli (transmitif, ilmiah); Contohnya Al Qur’an. Bahasanya yang sangat istimewa. Sebagian ada yang menyebut bahwa yang menyebabkan Al Qur’an dikatakan sebagai mukjizat adalah karena Tuhan berbicara dalam bahasa manusia (pembicaraan Tuhan dalam bahasa manusia). Mukjizat qauli adalah bukti untuk orang-orang intelektual (karena orang intelektual tidak gampang di permainkan dengan hal-hal bersifat luar biasa dari segi perbuatan).
2- Mukjizat fi’li (perbuatan yang dilakukan); seperti mukjizatnya Nabi Sholeh dimana unta keluar dari batu, Nabi Musa dimana lautan terbelah. Nabi Muhammad Saw yang membelah bulan. Ini adalah bukti untuk orang-orang awam. Terjadinya sekali, sekedar untuk membuktikan kenabian beliau. Nabi tidak menginginkan seseorang beriman hanya karena melihat hal yang luar biasa saja.
Bagaimana sikap kita jika ada orang yang mengaku sebagai Nabi?
Jadi jika ada seseorang mengaku sebagai Nabi kita tinggal tanya dia untuk membuktikan mukjizat fi’li dan qauli-nya. Pada zaman Nabi banyak yang mengaku sebagai Nabi. Ada diantaranya seorang yang mengaku sebagai Nabi, kemudian Nabi Muhammad Saw meminta dia untuk menunjukkan mukjizat fi’li nya dengan menaikkan permukaan air sungai. Tapi ternyata dia tidak mampu, yang ada malah permukaan air sungainya turun. Nabi pada saat itu tidak berbuat apa-apa lagi, karena terbukti dengan sendirinya kalau dia bukanlah Nabi. Tapi Nabi tidak pernah menyatakan bahwa “darahnya halal” karena itu, atau rumahnya boleh dirusak (seperti yang dilakukan segelintir orang atau golongan di negeri ini). Nabi tidak pernah mengajarkan kita untuk agresif, karena menentukan kebenaran itu tidak boleh agresif. Karena apa? Karena ada ‘lakum di nukum waliyadin’. Tidak mungkin ada ayat ini jika kita dituntut untuk agresif. Sekali lagi islam itu rahmatan lil’alamin, tidak mengenal sikap agresif dan main hakim sendiri.
No comments:
Post a Comment