Basa basi kadang jadi prolog yang diwajibkan dalam bersosialisasi. Marilah aku sekali-kali menuruti hukum bersama tentang basa-basi. Termasuk dalam menulis blog, maklum tak sebegitunya hands on dengan dunia blog. Ini kali pertama aku mengenal blog, itu pun setelah melewati tahap bertanya malu-malu sama beberapa teman yang kupikir eksistensi ke-blog-an nya sudah mencatat sejarah. Komentar semacam "Ya ampun, kemana aja ampe gak tau blog" atau "serius nggak ngerti blog" terpaksa jadi makanan kuping sehari kemaren. Tapi tak ada salahnya mencoba, menulis, toh untuk diri sendiri ini.
Kembali ke soal bahwa untuk kali ini aku akan menuruti hukum basa-basi, bukan berarti aku pengikut dan penganut basa-basi, tapi lebih karena perasaan tak guyub kalo tak dilakukan, alias menghormati nilai berbasa-basi yang sudah diakui dan dijunjung tinggi oleh semua khalayak manusia. Entah seberapa luhur makna nya tapi yang jelas tanpa si basa-basi ini, mungkin tak akan ada yang namanya komunitas, identitas sosial, perkawinan, kerja sama, peradaban, mobilitas atau bahkan globalisasi atau mungkin dunia ini chaos (semakin chaos). Ngelantur? mungkin, toh tak ada paksaan pembatasan dalam pengekspresian ide ngelantur juga di negeri ini kan? (sambil mata mengerling ke gambar presiden dan menteri kabinet SBY di pojokan kamar milik adinda-ku yang kelas 4 SD).
Apa pasal omong kosong ini dimulai? tak ada kejelasan alasan, hanya ulasan atas sekilas pemikiran teman.
Ya, saat itu, bahasan ini keluar pas lagi ngaso ba'da sholat dzuhur di mesjid UI depok, di hari yang terik, setelah sepagian baksos di yayasan cacat ganda. Mungkin kharisma dan keterbukaan mesjid UI depok lah sebenernya yang membuat tiba2 ide jujur tentang basa-basi ini bisa keluar.
(for your information tentang mesjid UI depok, boleh tuh sekali-kali main ke sana, mesjidnya terbuka, dingin, dengan danau di samping nya, plus ada angin semilir dan redup rimbun pepohonannya, bisa bikin nuansa gimana...gitu. Beruntung lah bagi mereka yang kuliah di UI depok, daya tarik lebih yang ditawarkan salah satu universitas terbaik di negeri ini. Sayang dulu gagal masuk UI...haha ngelantur beneran deh).
Kitab basa-basi
"Aku bosan berbasa-basi, menjadi pribadi umum", ujar temanku yang pandangan-nya menerawang ke ujung danau.
"Pribadi umum?", respon-ku ringan saat itu, antara peduli dan tak peduli. Maklum tenggorokan saat itu masih kering, meski beberapa glek glup air wudhu sudah diminum tadi.
"Ya, pribadi yang ramah, sopan, tertutur kata, tersenyum ketika orang senyum, tertawa ketika ada yang melucu, menyimak ketika ada yang menasihati", panjangnya penjelasan dia dengan nada yang sedikit serius, memaksa-ku untuk ngeeuh kalo ternyata dia serius.
"Yup, kadang saat bertemu orang aku merasa terpaksa harus tersenyum, pdhal sedang tak ingin senyum, atau kadang karena merasa nggak enak ada di kerumunan anak-anak, aku pura-pura ikut tertawa hanya untuk sebuah lelucon tak lucu", tambahnya.
Belum sempat mencerna apa maksud sebenarnya yang dia bicarakan, dia menambahkan, "Ya...kadang ketika aku cerita sama seseorang, mereka memberiku nasihat, padahal aku tak meminta untuk dinasihati, tak ingin sedikit pun nasihat dia, tapi di lain pihak tetap saja aku berusaha untuk sok-sokan khidmat mendengarkan", dia menghela napas panjang.
"sorry, jadi maksudnya, semua baik-baik kau yang ada, yang ku-kenal itu palsu? tak ada jujur-jujurnya sama sekali?", coba memverifikasi.
"kan ada penekanan kata kadang tadi', jawabnya tegas dan sedikit menolak post-response ku.
Mhmnn...statement dia nggak salah, kadang aku juga sering merasa terpaksa tersenyum, terpaksa tertawa, terpaksa pura-pura mendengarkan, terpaksa bertanya, terutama pas kewajiban interaksi sosial berbenturan dengan kondisi nurani yang lagi berbenah hati. Cengeng kalo dibilang lagi bersedih, tapi sejujurnya, memang keseringan itu terjadi kalo lagi bersedih.
"Benar juga, kadang aku ngerasa kayak gitu", jawabku.
"Dan tahu nggak, momen 'kadang' tadi adalah kondisi yang disebut dengan basa-basi", timpal temanku.
"Betapa banyak hari-hari ini diisi dengan basa-basi, hanya untuk menghindarkan benturan dan konflik antar pribadi orang-perorang. Hanya untuk kelihatan ramah, hanya untuk membuat orang lain merasa nyaman, hanya untuk membuat orang lain menyukai kita, hanya untuk membuat orang lain berpandangan bahwa kita teman yang menyenangkan, dengan kata lain kita tidak jujur atas perasaan sedih kita hanya untuk sebuah kenyamanan publik", penjelasannya makin panjang.
"Tahu nggak, kalo lama-kelamaan kita ini menjadi pribadi yang umum, pribadi yang sama, membosankan", dia menekankan.
"Ya, kalo pun memang definisi dan teori basa-basi mu itu benar, maka dengan itulah sebuah pertemanan dibentuk, dengan itulah sebuah genk dibentuk, dengan itulah sebuah komunitas dibentuk bahkan dalam skala besar, dengan itulah sebuah organisasi dibentuk, sebuah negara, peradaban dunia, ......o..ow...wait, pernikahan pula dibentuk dengan basa-basi", ya sedikit ekstrim sih implifikasi analysis nya.
"salah ngomong jadinya, keluar deh kebiasaan-mu mendramatisir segala sesuatu itu, nggak, aku nggak coba bikin definisi, dan pembenaran, tentang menjadikan basa-basi sebagai fondasi apa pun, cuma geli aja, jika ada orang diluar sana berpikiran sama denganku dan menganggap hal-hal itu tadi sebagai basa-basi, dan merasa bahwa kadang kita seolah menjadi pribadi umum, lantas sangat mungkin, kalo secara kebetulan dua orang yang berkepribadian umum bertemu dan saling berbasa-basi, bukankah itu lucu dan ambigu? menjadikan interaksi bak pentas adu omong kosong penuh kebohongan".
Hening sesaat, kurasa sebagian dari pikiran-ku ikut geli dan membenarkan, serta-merta mengiyakan kemungkinan itu terjadi, dan membayangkan kelucuan jika dua orang yang berkepribadian umum bertemu dan saling berbasa-basi . Tak menyangka, kalo dibalik celana bolong2nya, tersimpan pemikiran mendalam tentang sebuah kitab basa-basi. Bukan maksudku bilang kalo otak dia di balik celana bolong2nya, tapi sangat2 nggak lazim punya filsuf berpotongan rocker.
aku cuma bisa menjawab, "Mungkin, karena kita diberi keterbatasan untuk mampu mengerti dan memahami satu sama lain, atau bahkan impossible bisa saling memahami secara benar sekalipun mereka yang sudah dieratkan dalam pernikahan bertahun-tahun, jadi tetap harus diadakan bahasa-bahasa umum yang bersifat positif, supaya komunikasi bisa terjalin, dan bisa terbentuk interaksi".
"Dan kalo kau bilang itu sebagai basa-basi ya sah-sah aja, tapi yang jelas, kalo begitu basa-basi diperluin setiap saat, karena kalo semua orang bersedih tak mau berbasa-basi dan main sabot begitu aja, konflik-lah yang terjadi, perperangan setiap saat, chaos dunia!!!!!", jelasku.
"OOOooooww....stop it!! again?! don't take it too serious...kenapa kau nggak pernah bisa bikin conversation ini agak-agak loose....take it easy...." dia menyeringai.
"dengar ya, ayam aja, ditaro di dalam kandang, tak memiliki kebebasan, bahkan secara fisik penuh dengan batasan, masih bisa bertelur!! kenapa kita yang punya unlimited freedom, freewill and free choices... hanya dituntut sekedar jadi pribadi umum?!", tambah temenku.
"apa ini yang dibilang zaman dimana logika mengalahkan nurani dan feeling? apa ini zaman dimana kita semua terpenjara dalam definisi2 kebaikan umum, logika-logika picisan, dan paradigma2 umum yang absurd?", tambahnya...
"ups...ups....hati2, mind your own word....sekarng siapa yang take it too serious? katanya tadi jgn didramatisir....yang jelas aku bukan ayam petelur, jadi tak bisa bedain betul yang kau maksud".
Kita berdua tertawa, tapi sesaat setelah itu tiba-tiba hening "barusan ketawa basa-basi bukan?"............"masa bodoh...hahaha".
Kadang kejujuran pun terbatas, basa-basi muncul atas itu sesekali. Perlukah? kembali ke pribadi masing-masing.
[Dari satu hari saja]
1 comment:
keep writing yaa...!!
Post a Comment